Oleh: Mutri Yeni, S.Pd.
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Ipteng—Kemiskinan merupakan masalah yang krusial bagi setiap negeri. Sehingga sudah seharusnya menjadi perhatian suatu bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa ini. Namun, bagaimana seandainya data kemiskinan yang ada tidak menggambarkan kondisi kemiskinan di lapangan, tentu ini akan menimbulkan permasalahan. Karena upaya untuk menghilangkan kemiskinan tidak akan pernah bisa diselesaikan.
Baru-baru ini, Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia supaya mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity. Menurut mereka, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 per hari, bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 per hari (Cnbn.indonesia.com, 9/5/2023).
Adapun paritas daya beli (purchasing power parity atau PPP) adalah konsep ekonomi untuk menyetarakan harga sekumpulan barang yang identik di berbagai lokasi berbeda. Singkat cerita, barang-barang tersebut seharusnya memiliki harga yang setara di berbagai negara. Sehingga ketika harga barang di negara Indonesia disetarakan dengan berbagai negara, sudah seharusnya acuan kemiskinan di negara ini berubah.
Sebagaimana kita ketahui acuan kemiskinan di negara Indonesia memang jauh di bawah apa yang ditetapkan oleh Bank Dunia, sehingga menjadikan angka kemiskinan tidak sama dengan realitas di lapangan.
Menanggapi hal ini, pemerintah melalui menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan, ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia itu belum bisa menjadi acuan perekonomian masyarakat Indonesia. Selain itu, jika ukuran garis kemiskinannya dinaikkan, malah menyebabkan naiknya angka kemiskinan di Indonesia.
Sri Mulyani menganggap, ukuran itu tidak bisa seketika digunakan di tanah air karena masing-masing wilayah di Indonesia memiliki struktur harga yang berbeda satu sama lain. Sehingga, pengeluaran masyarakat untuk hidup berbeda satu dengan yang lain.
Di sisi lain, pengamat ekonomi mengungkapkan kalau acuan angka Kemiskinan di Indonesia memang terbilang rendah, sekitar US$1,90. Akibatnya, jumlah rakyat miskin di lapangan lebih banyak dari pada yang terdata. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, karena negara Indonesia yang memiliki kekayaan yang melimpah justru memiliki penduduk miskin terbanyak.
Sistem Kapitalisme Memproduksi Kemiskinan
Adanya perbedaan pandangan terhadap acuan kemiskinan dalam sistem kapitalisme adalah hal yang wajar. Karena dalam kapitalisme kemiskinan dianggap sebagai sesuatu yang relatif dan bukannya untuk kondisi tertentu yang bersifat tetap dan tidak berubah. Karena itu, kapitalisme menganggap bahwa kemiskinan Adalah adanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa.
Anggapan yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis ini adalah anggapan yang salah, sebab akhirnya sistem ekonomi kapitalis telah menjadikan makna kemiskinan hanya anggapan saja bukan real. Padahal ketika dilihat di lapangan, kondisi negara saat ini menunjukan begitu banyak kemiskinan ditengah masyarakat.
Ini bisa dibuktikan dengan data gizi buruk di negeri ini. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, persentase stunting bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia tercatat 21,6 persen pada 2022. (kompas.com, 14/5/2023).
Dilansir liputan6.com, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan sebanyak 81 juta penduduk Indonesia kelompok milenial belum memiliki rumah. Catatan ini berdasarkan data milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Ada 81 juta generasi milenial dengan status yang berbeda ini data dari Kementerian PUPR belum dapat fasilitas rumah,” ujarnya saat mendampingi Presiden Jokowi meresmikan Hunian Milenial untuk Indonesia, di Depok, Jawa Barat, Kamis (13/4).
Penyebab maraknya kemiskinan dalam sistem kapitalisme adalah sistem ekonominya yang menganut kebebasan kepemilikan. Sehingga hanya orang-orang yang punya modal yang menguasai harta, sedangkan rakyat miskin tidak mampu mengakses harta kekayaan yang ada.
Selain itu, negara dalam sistem kapitalisme akan berlepas tangan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyatnya. Karena sesungguhnya, semua rakyat dibebaskan untuk memiliki harta kekayaan. Sistem inilah yang menjadikan segelintir orang menguasai harta kekayaan.
Sistem ini meniscayakan kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat diprivatisasi atau dijadikan milik pribadi, seperti jalan tol, tambang, hutan, dan sebagainya. Akibatnya, rakyat terhalangi untuk mendapatkan haknya dan terlebih lagi tercipta kesenjangan sosial yang sangat tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Syariah Islam Mengakhiri Kemiskinan
Islam telah menganggap masalah kemiskinan dengan standar yang sama, di negara mana pun, serta kapan pun. Islam tidak mengukur kemiskinan berdasarkan pengeluaran atau pendapatan. Begitu juga dengan harga barang dan jasa sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini.
Menurut Pandangan Islam, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer atau asas secara menyeluruh. Syariah Islam telah menetapkan kebutuhan primer meliputi tiga hal, yaitu: sandang, papan dan pangan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 233, yang artinya:
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.”
Jadi, kemiskinan dengan maknanya yang Islami adalah tidak terpenuhinya alat pemuas yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer. Dengan demikian, tidak akan ada perbedaan acuan kemiskinan dalam Islam.
Islam telah menjadikan upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer serta mengusahakannya adalah fardhu. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu memenuhinya, karena tidak mempunyai harta yang cukup, maka syariah telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong oleh orang lain.
Syariah Islam telah merinci tata cara untuk mengeluarkan seseorang dari kemiskinan, di antaranya; Islam mewajibkan nafkah kepada Kerabat terdekat yang memiliki hubungan waris.
Apabila orang tersebut tidak mempunyai kerabat yang wajib menanggung nafkahnya, maka kewajiban tersebut dipindahkan kepada negara, yaitu Baitul Mal dari pos zakat.
Ketika pos zakat kosong maka negara akan mengambil dari pos yang lain. Ketika pos Baitul Mal kosong, maka negara akan mewajibkan pajak kepada kaum Muslim yang kaya.
Adapun dalam kondisi saat ini, ketika negara yang menanggung nafkah orang-orang miskin tidak ada, maka kewajiban tersebut berlaku untuk seluruh kaum Muslim. Karena Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah SWT akan terlepas dari mereka.” (HR. Ahmad)
Selain mekanisme di atas, Islam memiliki aturan terkait kepemilikan harta dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, hak untuk memiliki harta merupakan izin syarah, sehingga seseorang tidak dibebaskan untuk menguasai harta sebagaimana dalam sistem ekonomi kapitalis.
Islam telah membagi kepemilikan berdasarkan tiga kriteria. Yaitu, kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kalau harta tersebut merupakan hak milik umum, maka haram dimiliki oleh individu.
Ini sebagaimana hadits Rasul:
“Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang dan Api.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini menunjukkan kalau harta milik umum tidak boleh dikuasai individu atau swasta. Tetapi harus digunakan untuk kepentingan atau kemaslahatan rakyat, termasuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Wallahu a’lam.