Suara Pembaca
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membubarkan dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT Istaka Karya yang dibubarkan karena pailit dan PT Industri Sandang Nusantara (Persero). Dalam aturan yang membubarkan PT Istaka Karya, disebutkan bahwa pembubaran dilakukan karena perusahaan berpelat merah itu dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tentu hal ini sangat disayangkan. Fenomena korporatokrasi saat ini, telah membuat BUMN makin menyusut. Kalah dengan perusahaan swasta milik pejabat atau perusahaan asing yang dibekingi oleh pejabat. Padahal, sepanjang 2005—2021, Kementerian Keuangan telah menyuntikkan modal kepada BUMN sebesar 51,8% dari total suntikan Rp695,6 triliun, yaitu Rp361 triliun dan sisanya ke Badan Layanan Umum (BLU). Sekitar Rp12,7 triliun untuk membantu restrukturisasi badan usaha yang kesulitan keuangan.
Kebangkrutan BUMN bukan karena kesalahan manajemen semata, melainkan ada paradigma yang keliru dalam memandang kepemilikan negara (milkiyah daulah) dan kepemilikan rakyat (milkiyah ammah). Dalam kacamata kapitalisme, Negara bisa menjual kepemilikan negara kepada publik, baik pemodal dalam negeri maupun luar negeri. Jadi, aset BUMN dapat diperjualbelikan kepada publik. Tanggung jawab pengelolaan aset negara akhirnya dipegang oleh individu, padahal seharusnya ini adalah tugas penuh negara.
Selain itu, dalam paradigma kapitalis, BUMN diposisikan sebagai badan usaha yang harus mendapatkan keuntungan. Bukan sebagai industri milik Negara yang dibangun untuk membantu melayani urusan rakyat. Padahal BUMN banyak mengelola sejumlah aset-aset strategis yang menjadi hajat hidup masyarakat dan dapat memberikan banyak kemanfaatan untuk masyarakat dan Negara.
Walapun juga tidak dapat dielak, banyak posisi pimpinan BUMN yang ditempati oleh induvidu-individu yang diragukan kapabilitasnya. Posisi pimpinan BUMN banyak diberikan karena pembagian jatah kemenangan politik. Wajar jika pengelolaannya menjadi tidak optimal, bahkan mengalami pailit.
Dalam perspektif Islam, badan usaha milik umum termasuk dalam kategori milkiyyah ammah yang harus dikelola negara dan tidak boleh diswastanisasi. Sumber daya alam dan industri-industri strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, itu mutlak harus dikuasai oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat. Semua itu dilakukan dengan paradigma riayah (pengurusan) bukan paradigma bisnis.
Mayang Trisna Wardani
(Mahasiswa-Bogor)