Oleh: Fathimah A. S. (Aktivis Dakwah Kampus)
Linimasanews.com—Berbagai wilayah di Indonesia sedang dilanda banjir. Aceh, Lumajang, Jakarta, Bogor, Sukabumi, Banten, Denpasar, Banyumas, Kalimantan, Seram Barat, dan beberapa wilayah lainnya sedang mengalami bencana ini.
Kerugian materi dialami. Aceh Utara menyatakan kerugian selama empat hari banjir mencapai Rp65 miliar (durasi.tv, 8/10/2022). Sejumlah fasilitas publik dan ribuan hektare perkebunan serta persawahan ikut terendam. Bangunan sekolah, jalan, dan jembatan juga rusak disebabkan banjir.
Jawa Timur bernasib sama. Kawasan wisata di Pantai Gemah, Kabupaten Tulungagung porak poranda. Jalur lintas selatan (JLS) terputus karena tertutup material longsor. Puluhan bangunan di sekitar area wisata juga roboh. Akibatnya, aktivitas ekonomi di pantai terhenti total (travel.tempo.co, 11/10/2022).
Tak cukup sampai di situ. Banjir juga menelan korban jiwa. Di Bali, terdapat 5 orang meninggal karena kendaraan mereka terperosok jalan yang terputus akibat banjir (bali.tribunnews.com, 9/10/2022). Di Jakarta Selatan, tercatat 3 siswa MTSN 19 Pondok Labu meninggal tertimpa tembok sekolah yang roboh karena diterjang banjir (liputan6.com, 7/10/2022). Pacitan juga mengalami hal serupa, 2 orang meninggal terbawa arus sungai yang meluap (antaranews.com, 8/10/2022).
Kesiapan Antisipasi Bencana Masih Minim
Sebenarnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofiska (BMKG) sudah mengimbau adanya potensi cuaca ekstrem untuk periode 2-8 Oktober 2022. Periode selanjutnya, yaitu 9-15 Oktober 2022, BMKG juga memprediksi potensi curah hujan dengan intensitas sedang hingga lebat di beberapa wilayah (bbc.com, 10/10/2022).
Akan tetapi, bisa kita rasakan sendiri, imbauan tinggal sekadar ibauan. Tak diiringi dengan langkah antisipasi.
Bisa dibilang, banjir merupakan bencana tahunan yang selalu berulang. Meski sudah dilakukan prediksi terkait potensi bencana, namun kesiapan masing-masing wilayah dalam mengantisipasi banjir masih sangat minim.
Bahkan, penanganannya masih berorientasi pada pascabencana. Akibatnya, rakyatlah yang merasakan derita. Dampak ekonomi dan sosial harus dialami dengan terpaksa. Padahal, upaya pencegahan secara serius dapat menyelamatkan nyawa dan harta manusia.
Problem Sistemis Khas Kapitalisme
Kerap kali curah hujan tinggi dijadikan kambing hitam atas bencana banjir. Namun, tentu kita tidak bisa melihat dari satu sisi semata. Faktanya, banjir merupakan akumulasi dari berbagai hal. Ada faktor alam dan juga faktor manusia.
Dari segi faktor alam, banjir dikategorikan dalam bencana hidrometeorologi. Sebab, bencana ini terjadi akibat parameter-parameter meteorologi, yaitu fenomena yang terjadi di atmosfer (meteorologi), air (hidrologi), maupun lautan (oseanografi). Seperti curah hujan tinggi, fenomena La Nina, perubahan pola angin, dan sebagainya.
Namun, kita harus ingat, pada dasarnya, alam ini telah diatur dengan kadar yang pas. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ
.
“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al Qamar: 54)
Sehingga, bila ada kadar yang tidak pas dan justru merusak, tidak lain adalah ulah manusia. Mari kita renungi bersama apa yang sudah dilakukan manusia. Tampaklah tingginya laju deforestasi, alih fungsi lahan yang tak terkendali, daerah resapan air tertutup bangunan-bangunan tinggi, hingga sistem drainase tak mumpuni.
Bukankah semua ini mampu mengguncang kondisi alam yang sebenarnya mampu menampung curah hujan yang tinggi? Sebagai akibatnya, hutan tak lagi berfungsi sebagai penyimpan cadangan air. Lahan tak lagi hadir bagi tempat meresapnya air. Sungai semakin rawan mengalami sedimentasi. Banjir pun terjadi.
Sekali lagi, ini menjadi bukti bahwa tata kelola kapitalisme yang berorientasi pada materi tak mampu menyelamatkan alam. Pembangunan yang eksploitatif dan industrialisasi yang semakin masif justru sejalan dengan penurunan daya dukung lingkungan.
Bahkan mirisnya, penguasa yang memiliki kekuatan untuk mengelola negeri, justru menjadi kaki tangan para kapital (pengusaha). Perencanaan wilayah dan kota selalu dinilai dengan sudut pandang keuntungan. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) hanya digunakan sebagai syarat administrasi dan tidak begitu menjadi perhatian. Akibatnya, lingkungan makin sekarat tanpa ada penyelamat.
Demikianlah daya rusak kapitalisme. Sistem ini mampu menciptakan manusia-manusia yang hanya memikirkan materi. Abai dengan perintah agung Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam mengurus negeri.
Islam: Menjaga Negeri dengan Dorongan Iman
Berbeda jauh dengan paradigma Islam dalam mengurus negeri. Sistem Islam merupakan representasi dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Pencipta dan Pengatur alam semesta. Baik penguasa maupun rakyatnya sangatlah berorientasi pada ketaatan, bukan mengejar keuntungan semata.
Penguasa dalam Islam sangat memahami tanggungjawabnya sebagai pengurus umat. Ia akan menerapkan syariat Islam secara sempurna, sehingga keberkahan akan tercipta di seluruh penjuru negeri.
Dalam pengelolaan alam juga demikian. Ajaran Islam mengajarkan untuk menjaga alam. Dengan begitu, keharmonisan di alam akan tercipta.
Khilafah akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat mitigasi bencana, sekaligus merawat alam. Terdapat beberapa kebijakan yang akan diterapkan:
Pertama, upaya preventif. Islam menetapkan hutan, air (sungai), dan api (tambang) adalah milik rakyat. Sehingga pembangunan kawasan harus memperhatikan kebermanfaatannya bagi rakyat, tidak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak. Dengan begini, kegiatan eksploitatif yang merusak lingkungan dapat dicegah. Sebaliknya, pembangunan akan selalu memperhatikan kelestarian lingkungan.
Pembangunan infrastruktur untuk mencegah bencana akan dilakukan, seperti bendungan, pemecah ombak, dan reboisasi. Pemetaan terhadap wilayah rawan bencana juga akan dilakukan dan disebarluaskan ke seluruh rakyat. Rakyat tidak akan dibiarkan tinggal di wilayah yang rawan terjadi bencana. Hutan lindung akan dijaga keberadaannya dan tidak boleh dirusak. Serta, sanksi yang tegas akan diberikan kepada pihak-pihak yang melanggar.
Kedua, upaya kuratif. Kegiatan evakuasi korban akan dilakukan sesegera mungkin. Akses jalan dan komunikasi dibuka lebar, serta lokasi pengungsian tersebar di berbagai wilayah. Dengan begitu, rakyat akan segera terselamatkan dan korban dapat diminimalkan. Kegiatan memblokade atau mengalihkan material bencana juga akan dilakukan, sehingga banjir segera dialirkan ke wilayah yang tidak dihuni.
Demikianlah sistem Islam menjaga negeri. Dalam sistem Islam, banjir terjadi bukan karena kelalaian manusia dalam mengelola lingkungan, tetapi karena musibah atau faktor alam semata.
Sudah sepantasnya sebagai seorang Muslim, ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan peringatan berupa bencana, kita harus semakin mendekat pada-Nya. Penting untuk muhasabah bersama, dengan berupaya mewujudkan ketaatan secara sempurna. Dimulai dengan mengkaji Islam secara kaffah, kemudian mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat.