Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd. (Penulis, Pegiat Literasi Islam, Selatpanjang – Riau)
Linimasanews.com—Rumah tangga adalah wadah penyatuan dua jenis manusia yang lahir dari rahim yang berbeda, juga budaya yang belum tentu serupa. Lalu, mereka dipersatukan dalam satu ikrar yang menggetarkan arsy-Nya. Dengan ucapan ijab qabul antara pria dan wali mempelai wanita, maka segala yang dilarang dilakukan sebelum terjadinya akad, kini telah halal dilakukan di manapun dan kapan pun jua.
Berbicara tentang keutuhan rumah tangga, sejatinya ada dua peran utama dua pihak di dalamnya. Peran suami sebagai pemimpin (qowwam) dan peran istri sebagai yang dipimpin (makmum). Untuk mengimbangi kedua peran ini agar tidak tumpang tindih, berebut siapa yang wajib didengar, maka perlu ada sesuatu yang mengikat keduanya dengan lembut, yaitu aturan Islam dan kasih sayang.
Aturan ini akan menegaskan porsi masing-masing. Kasih sayang yang dimaksudkan akan menjadikan bumi ini damai dari prahara. Karenanya, bagian sederhana dari kehidupan dunia yang sementara ini juga harus terikat dengan pengikat yang sama, yaitu keluarga yang menegakkan aturan Islam dan yang penuh kasih sayang. Suami memimpin keluarga dengan kasih sayang, istri pun memaksimalkan perannya dalam keluarga dengan kasih sayang. Keduanya pun berkasih sayang sesuai dengan aturan Allah SWT.
Benar, akhir zaman tidak ramah dengan keutuhan keluarga, terutama keluarga Muslim. Begitu banyak fakta problematika kehidupan saat ini menggeser pondasi, bahkan merobohkan bangunan keutuhan keluarga-keluarga Muslim. Mulai dari problem negara yang mengadopsi sistem kufur hingga masyarakatnya yang telah teracuni pemikiran-pemikiran sekuler lagi liberal.
Tantangan saat ini memang tidak mudah. Suami dituntut beradu otot, berlelah di bawah terik matahari di desa dan teriakan kemacetan jalanan di kota. Semua mendapat porsinya masing-masing. Begitu juga istri. Apabila ia di rumahnya, ia menjalani tantangan yang beraneka ragam. Apabila ia menjalani dua peran sekaligus, peran pekerja dan istri, maka bebannya kian beragam pula.
Beban inilah yang sejatinya memanggil lelah yang kian hari kian menghadirkan kejenuhan. Dengan wajah yang ikut lusuh, jiwa berulang kali merapuh. Inilah tantangan setiap pasangan di akhir zaman, saat sistem Islam tidak lagi menaungi, tidak lagi diterapkan, bahkan di-framing usang dan mulai ditinggalkan.
Hingga sampailah kita pada puncak keterbelakangan. Yaitu, saat yang berislam hanya berbangga dengan ibadah ritualnya, yang hanya 10-20% dari porsi keimanan yang sesungguhnya. Sedangkan, 80% yang di dalamnya memuat sistem hidup, baik itu muamalah, pemerintahan, pendidikan, ekonomi, kesehatan, sanksi pidana, sosial dan budaya, justru dibiarkan lepas, diatur dengan sistem kufur.
Dampaknya pun kian memberi tantangan yang cukup berat bagi keluarga Muslim di seluruh dunia. Tidak terkecuali, mereka yang baru berikrar dan memulai pelayaran perdana biduk rumah tangganya. Mereka hanya ada dua pilihan, memaksimalkan segala usaha ataukah hancur terbawa prahara.
Bagaimana peran suami dan istri dalam mencari lelah bernilai lillah yang mampu mengantarkan ke jannah? Berikut trik-triknya.
Pertama, hadirlah sebagai pasangan yang berkomitmen memperjuangkan Islam. Dengan hadirnya komitmen ini, maka arah tuju biduk pernikahan pun akan terarah. Jikapun suatu saat kehilangan arah karena beberapa musibah, terutama musibah lupa akan tujuan pernikahan, maka komitmen di awal bisa diketengahkan kembali sebagai bahan renungan. Komitmen ini hendaknya menjadikan sikap (akhlak) suami ke istri kian hari kian baik.
Sebagaimana anjuran Rasulullah SAW,
وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
‘Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi As-Shahihah no 284).
Komitmen ini pondasi penting yang harus ada di setiap keluarga Muslim. Pasalnya, jika hanya sebatas ingin, maka ketika perjuangan menemukan jalan buntu, tidak sedikit yang kabur meninggalkan perjuangan ini. Padahal, jika bukan umat Islam sendiri yang memperjuangkan tegaknya syiar-syiar Islam, lantas dari siapa lagi?
Kedua, ringan tangan membantu pekerjaan pasangan. Hadirlah sebagai pribadi yang ringan tangan dalam kebaikan. Jika istri lelah merawat anak, hendaknya suami yang juga lelah bekerja di luar rumah, memaksimalkan diri membantu istri di rumah, meringankan pekerjaan rumah tangga.
Sebagaimana teladan Rasulullah SAW dalam hadits shahih berikut: Ummul Mukminin, Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba saat shalat maka beliau pergi untuk shalat.” (HR. Bukhari).
Istri yang dibantu menyelesaikan urusan dalam rumah tangganya akan hadir sebagai istri yang bahagia. Dengan kebahagiaannya itu, seisi rumah akan merasakan suasana surga. Jikapun tidak sanggup, carikan pembantu dari luar untuk meringankan pekerjaan rumah tangga.
Ketiga, suami hadir sebagai pemimpin yang dirindukan. Suami, dengan posisinya sebagai pemimpin keluarga, hendaknya hadir sebagai pemimpin yang dirindukan oleh setiap anggota keluarganya. Pemimpin yang dengan segala usaha memaksimalkan kurikulum pendidikan keluarga, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di lingkungan sosialnya, juga lantang menyuarakan kebangkitan Islam di wilayahnya.
Jika suami hadir sebagai sosok yang dibenci dan tidak diharapkan kehadirannya, maka suasana rumah akan terasa hambar mencekam. Bahkan, sampai pada titik kejenuhan, istri justru senang jika suami tidak di rumah. Karena, kehadiran suami yang buruk akhlaknya, ibarat menyimpan racun di dalam belanga susu, merusak suasana.
Keempat, istri meluangkan waktu untuk membina masyarakat. Istri, dengan posisi strategisnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, tentu saja tidak boleh membatasi dirinya berperan cukup di balik pintu rumahnya. Istri juga bagian dari masyarakat, yang apabila ia turut berkontribusi untuk perbaikan lingkungannya, terutama sesama wanita, maka itulah semaksimalnya pilihan hidup. Karena, akhir zaman adalah fitnah yang mencelakakan. Jika yang baik bungkam, maka yang merusak kian merajalela mengundang azab.
Untuk istri yang berperan sebagai pengemban dakwah Islam, butuh kehadiran suami yang loyalitas dalam urusan materi dan totalitas dalam urusan menjaga keselamatan istri ketika istri berada di luar rumah. Untuk mengimbangi hal ini, hendaknya suami mencari pekerjaan yang tidak menguras habis waktunya dalam sepekan hanya untuk urusan pekerjaan saja.
Kelima, pasangan idealis bersama-sama menggenggam mabda/ideologi Islam. Suami dan istri adalah dua orang yang berbeda yang diikat dengan titah ketaatan yang sama dalam pandangan Islam. Duka umat di akhir zaman memang kian berat. Dengan bersatunya dua individu pengemban mabda Islam dalam satu biduk perjalanan, sejatinya inilah benteng terakhir penguat masyarakat dari terpaan badai sekularisme. Dua insan yang bersahabat akan membawa perubahan besar dengan mimpi dan janji besar dari Rabb semesta Alam.
Berkaca dari suami istri zaman sekuler, diterpa berbagai fitnah, muncul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terimbas kesulitan ekonomi, terbius kebiasaan masyarakat yang abai dan lalai dari ketaatan, rusaknya generasi hingga merebaknya berbagai keburukan di segala lini, dapat tergambar bahwa penyebab utamanya adalah diamnya orang-orang yang beriman dan berilmu, dan merajalelanya pembuat kerusakan.
Dari problematika ini, ummat butuh kehadiran berbagai peran bagi tiap individu Muslim. Umat butuh suami yang menjaga keluarganya, mencari nafkah halal, dan juga menjaga lingkungannya dengan giat berdakwah kepada Islam. Begitu juga, istri dengan peran utamanya di dalam rumah tangganya, hendaknya terpanggil untuk turut hadir di tengah-tengah lingkungan sosialnya agar kebaikan dirinya menyebar. Jikapun belum baik, ia akan turut baik dari sumber-sumber kebaikan dari wanita Muslim lainnya dalam sebuah komunitas dakwah kepada Islam.
Peran ganda semacam inilah yang memberi tantangan tersendiri bagi suami dan istri untuk bersinergi dalam kebaikan. Yaitu, suami yang dengan setia mengantarkan istri ke halqoh (aktivitas mengkaji Islam) untuk menambah ilmu tentang Islam. Istri yang menyiapkan jamuan ketika suami belajar tentang Islam bersama guru dan rekannya di rumah mereka. Sungguh inilah persahabatan dalam bingkai pernikahan yang diharapkan. Persahabatan dalam lelah yang lillah menuju jannah.
Tidak seperti biduk rumah tangga yang lain, ketika suami lalai akan pendidikan keluarganya. Jangankan untuk mendidik sendiri istrinya di rumah, untuk istri pergi belajar di luar pun suami enggan mengantarkan, bahkan melarang dan menekan istri mengerjakan banyak pekerjaan di dalam rumah yang tidak ada habis-habisnya.
Suami yang enggan mengajarkan ilmu Islam, istri yang jauh dari ilmu Islam, pada puncaknya akan rusak. Kerusakan itu bermula dari dalam rumah tangga yang merapuh karena meninggalkan ilmu Islam. Wajar jika dari rumah tangga yang rusak, lahir generasi rusak yang merusak lingkungan sosialnya hingga merusak negaranya.