Demam Childfree

0
516

Oleh: Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)

Linimasanews.com—Anak adalah amanah yang Allah titipkan pada setiap orang tuan. Memiliki anak itu memang sebuah pilihan. Namun, atas kehendak Allah saja proses penciptaan itu. Setiap insan tentu memiliki pertimbangan mengenai pilihan punya anak atau tidak. Salah satu penampakan dark naluri nau (memelihara keturunan) ialah memiliki anak. Kehadiran anak akan membawa suasana bahagia, wajahnya yang lucu dan menggemaskan, bahkan anak bisa jadi teman yang asyik bagi orang tua saat bepergian, bercengkrama, ataupun bercerita dan berbagi rasa. Bahkan, kehadiran anak di rumah seakan bau surga tercium dari aroma bayi, tentu setitik kebahagiaan berhasil menerobos dinding hati.

Tentu saja kehadiran buah hati dalam keluarga memberikan segudang konsekuensi. Sebagai orang tua muslim, ada kewajiban hadlonah (pengasuhan), pengajaran yang baik (pendidikan), keteladanan, dan tentu perlu biaya dalam merawat dan mengasuh anak. Terlebih dalam atmosfer kapitalisme yang semua diukur dengan uang, biaya kebutuhan anak, mulai dari kebutuhan pokoknya hingga asupan akal dan jiwanya memerlukan biaya yang tak murah. Anak menjadi tanggung jawab individu orang tua.

Asas manfaat menjadikan negara meletakkan tanggung jawabnya atas pengurusan anak, cukup orang tua yang menanggungnya. Hajat hidup jama’i seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan anak menjadi tanggungan orang tua tanpa peran negara. Biaya kebutuhan jama’i tersebut tentu memberatkan tiap orang tua mengingat biayanya yang sangat tinggi. Untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan prima, maka biaya juga harus prima.

Maka, wajar di sistem kapitalisme dengan akidah sekularisme (memisahkan agama dengan kehidupan) muncul angan childfree bagi pasangan orang tua. Selain menghindari biaya yang tinggi, bisa jadi ada pasangan yang betul-betul enggan direpotkan dengan kehadiran anak. Mereka tak ingin diganggu kegiatannya, ingin fokus pada aktivitas masing-masing, hanya berdua dengan pasangan, dan happy berdua. Mereka juga terkadang merasa tak mampu memikul tanggung jawab moral andai punya anak. Rasa khawatir muncul, khawatir tidak bisa membahagiakan mereka, tak bisa memberikan pendidikan terbaik, tak bisa jadi orang tua yang baik, dan segenap kekhawatiran lainnya yang menyergap orang tua.

Oleh karena itu, childfree bisa jadi alternatif bagi tiap pasangan agar terbebas dari tanggung jawab atas pemeliharaan anak. Baru-baru ini, komunitas childfree muncul ke permukaan mengampanyekan apa yang menjadi ide mereka, tentu saja kehidupan bebas anak. Rasa prihatin justru muncul di sela-sela kampanye komunitas itu, bagaimanapun tujuan sebuah pernikahan salah satunya adalah memiliki keturunan. Apalagi bagi seorang muslim, anak sholih adalah aset berharga yang bisa menjadi investasi pahala dan mengantarkannya ke surga.

Umat manusia saat ini terkungkung oleh pola pikir hedonisme, kesenangan materi, dan jasadiah semata. Hampir tak ada ruang untuk merengkuh nilai ruhiyyah di dalamnya. Ukuran kebahagiaan pun bukan lagi keberlimpahan barakah dan pahala, tapi kepuasan pribadi, termasuk dalam pernikahan. Tak heran jika kehadiran anak dipandang sebagai pengganggu kebahagiaan pernikahan. Fokus mereka adalah hanya pada diri sendiri. Meskipun para penganut childfree ini menolak mentah-mentah saat dianggap egois, tapi kenyataannya demikian. Bukankah menolak berbagi kebahagiaan dengan orang lain –seperti bebas anak– merupakan bentuk keegoisan?

Pandangan akan kehadiran anak di tengah-tengah keluarga kembali pada hakikat dan tujuan pernikahan setiap orang. Di antara mereka ada yang sekadar menghalalkan hubungan agar tak terjerumus zina, ada yang hanya untuk mengikat tali kasih, ada juga yang memahami hakikat dan tujuan pernikahan yang dibangun, yakni untuk ibadah dan melestarikan keturunan. Hakikat pernikahan ini merupakan ketentuan Allah yang menentramkan jiwa, memuaskan akal, dan sesuai fitrah manusia. Semua aktivitas memuat konsekuensi untuk terikat dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT.

Keberadaan hukum syara’ adalah sebagai alarm dan timbangan segala aktivitas dan perasaan. Timbangan rasa bahagia atas kehadiran anak ataupun tanpa kehadiran anak akan ambyar jika dikembalikan pada timbangan manusia. Pasalnya, hal itu akan mengganggu harmonisasi hubungan, bahkan mengganggu kehidupan bermasyarakat. Bagaimana tidak, di sistem kapitalisme yang serba bebas ini, banyak pasangan yang merasa bahagia tanpa ikatan pernikahan. Mereka yang memilih childfree ataupun tidak menikah merasa berat untuk beban yang akan ditanggung, beban finansial, waktu, administrasi, dan terutama beban moral. Bagi mereka pengusung gaya hidup bebas, kebahagiaan bisa diperoleh tanpa aturan hukum syara’.

Sementara bagi seorang muslim, ikatan pernikahan bukan sebatas menyatukan tali kasih dan cinta, namun juga ibadah untuk menggenapi separuh agama agar menjadi amal sholih. Segala problematika keluarga akan bernilai pahala bagi pasangan yang sabar dalam ketaatan pada hukum syara’. Peran orang tua dalam pengasuhan dan pendidikan anak, termasuk dalam pengeluaran finansial untuk mencukupi kebutuhan anak insyaallah akan menjadi pahala investasi yang nikmatnya tak akan putus.

Maka, sepatutnya pernikahan dan pandangan akan buah hati dilandasi oleh keimanan. Jika tidak, semua aktivitas dalam ikatan suci dan sakral itu akan menjadi hampa. Pernikahan hanya akan berhenti pada rutinitas hubungan jinsiyah (seksual), meluapkan perasaan, dan perhitungan biaya hidup. Kehadiran anak dipandang sebelah mata dan merepotkan saja. Padahal, sejak proses kehamilan, kehadirannya bisa menjadi sumber pahala yang tiada terputus bagi orang tua.

Akidah Islam hendaknya dijadikan landasan hidup dan pernikahan agar mampu membentuk keyakinan utuh pada Allah SWT. Keyakinan itu akan mengantarkan tiap pasangan dan orang tua pada ketenangan dan ketentraman. Sebab, mereka akan meyakini jaminan rezeki dari Allah semata. Keyakinan itu juga akan membawa mereka pada gerbang kebahagiaan hakiki, yakni meraih ridho Allah. Dengan akidah Islam, pernikahan dan segala konsekuensi rumah tangga, termasuk hadirnya buah hati akan dijadikan sebagai ajang untuk mencari pahala di sisi Allah.

Childfree akan jauh dari pikiran pasangan muslim jika setiap muslim memiliki akidah Islam yang lurus dan kokoh. Anak tak akan pernah dianggap beban ataupun sumber masalah, justru anak akan menjadi obat hidup dan pahala investasi. Sejak dulu, anak menjadi harapan bagi tiap orang tua. Banyak keluarga miskin yang sukses dalam mendidik anak, dimana pendidikannya tidak diukur dari taraf pendidikan berjenjang ala pemerintah.

Namun, pendidikan berbasis akidah Islam sehingga mencetak generasi muslim sholih yang bersyakhsiyah Islam. Namun, ada pula orang tua yang tak mampu sukses mengantarkan pendidikan anaknya hingga mancanegara dan menjadi seorang profesor. Kehadiran anak menjadikan orang tua berjuang untuk memberikan pemenuhan kebutuhan, pengasuhan, perawatan, dan kasih sayang yang terbaik untuk anak-anaknya.

Dengan akidah Islam, childfree justru tak akan membuat keluarga hepi. Kehampaan dan kesunyian dalam rumah akan terus menemani hingga akhir batas usia yang ditentukan. Penyesalan di akhirat bagi pengusung konsep childfree tak akan berguna lagi. Mereka akan menyesali bahwa setiap keletihan dan kepayahan seorang ibu ketika hamil dan mengasuh anak akan ada nilai pahala. Begitu juga dengan setiap biaya yang diperjuangkan dan dibelanjakan ayah untuk memenuhi kebutuhan anak, seperti beli susu, popok, bedak, sabun, juga biaya sekolah anak akan menjadi nafkah terbaik di jalan Allah dan juga berbuah pahala.

Hidup memang sebuah pilihan. Menikah atau tetap jomlo itu pilihan. Memiliki anak atau tidak, juga pilihan. Bagi yang memilih jomlo dan bebas anak juga akan merasakan bahagia, tapi kebahagiaan semu semata. Sebab, tak ada ridho Allah di dalamnya. Sementara orang-orang yang beriman pada Allah SWT. dan taat pada syariat-Nya, kebahagiaan itu adalah meraih ridho-Nya. Itulah kebahagiaan hakiki, bukan hanya di dunia, namun kebahagiaan itu kekal hingga di kehidupan abadi.

Artikulli paraprakGenerasi Putus Kuliah Saat Pandemi, Bukti Kapitalisme Anosmia Empati
Artikulli tjetërPenistaan Agama Berulang, di Mana Peran Negara?
Visi : Menjadi media yang berperan utama dalam membangun kesadaran umat tentang fakta kebutuhan mengembalikan kehidupan Islam. Semua isi berupa teks, gambar, dan segala bentuk grafis di situs ini hanya sebagai informasi. Kami berupaya keras menampilkan isi seakurat mungkin, tetapi Linimasanews.com dan semua mitra penyedia isi, termasuk pengelola konsultasi tidak bertanggungjawab atas segala kesalahan dan keterlambatan memperbarui data atau informasi, atau segala kerugian yang timbul karena tindakan berkaitan penggunaan informasi yang disajikan. Linimasanews.com tidak bertanggungjawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis yang dihasilkan dan disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik “publik” seperti Opini, Suara Pembaca, Ipteng, Reportase dan lainnya. Namun demikian, Linimasanews.com berhak mengatur dan menyunting isi dari pembaca atau pengguna agar tidak merugikan orang lain, lembaga, ataupun badan tertentu serta menjauhi isi berbau pornografi atau menyinggung sentimen suku, agama dan ras. Segala isi baik berupa teks, gambar, suara dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Linimasanews.com. Semua hasil karya yang dimuat di Linimasa news.com baik berupa teks, gambar serta segala bentuk grafis adalah menjadi hak cipta Linimasanews.com Misi : * Menampilkan dan menyalurkan informasi terbaru, aktual dan faktual yang bersifat edukatif, Inspiratif, inovatif dan memotivasi. * Mewadahi bakat dan/atau minat sahabat lini masa untuk turut berkontribusi membangun kesadaran umat tentang fakta kebutuhannya mengembalikan kehidupan Islam melalui literasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini