Oleh: Dhevy Hakim
“Anak adalah peniru terbaik, jadi berikanlah mereka sesuatu yang hebat untuk ditiru.”
(M. Tarmizi Murdianto)
Ibarat gelas yang masih kosong, seorang anak akan melakukan apa saja sesuai dengan informasi yang didapatkan. Entah, informasi itu terkait sesuatu yang dilihatnya maupun yang ia dengar. Bahkan, ditemukan kisah yang menakjubkan kepiawaian seorang anak dikarenakan kebiasaan ibunya saat mengandungnya.
Quote “Anak adalah peniru terbaik” sebagaimana disebutkan di awal, sungguh menjadi catatan penting buat emak-emak. Emak-emak, sebuah sebutan yang nge-tren saat ini sebagai julukan kaum ibu yang hidup di jagat sosial media, menjadi orang yang paling sering bertemu dengan anaknya. Sejak mengandung, menyusui dan mengasuh tentu waktunya lebih banyak dimiliki seorang ibu ketimbang orang lain.
Tidak salah, sosok ibu disebut sebagai madrassatul ula atau sekolah pertama bagi anaknya. Mulai dari seorang anak belum bisa berjalan, lalu bisa berjalan. Mulai anak belum bisa bicara, kemudian bisa berbicara dan mengenal nama-nama benda. Tak jarang karakter seorang anak pun mengikuti kebiasaan ibunya, mulai cara berbicara, berjalan, berdandan, dan kebiasaan yang lainnya.
Setiap orang tua pasti mendambakan anaknya lebih baik darinya. Begitupun bagi pasangan ideologis (orang yang berideologi Islam). Banyaknya teladan dari para sahabat dan para sholafus shalih acap kali menjadi inspirasi bagi orang tua untuk mendidik anaknya agar menjadi generasi hebat. “Semoga anakku seperti Muhammad Al Fatih”, “Mudah-mudahan menjadi generasi yang faqih seperti Imam Syafi’i”, “Ya Allah, jadikanlah anak hamba imannya sekuat Bilal bin Rabah”. Mungkin sederetan harapan dan do’a tersebut pernah terucap dalam benak kita.
Namun, pertanyaannya, sudahkah orang tua mempersiapkan semuanya? Ya, paling tidak satu hal yang pasti, harus mempersiapkan emak yang ‘strong’.
Emak yang kuat tentu bukan dari sisi fisiknya, namun lebih pada daya juangnya. Sebagai seorang manusia yang terlahir dari tulang rusuk yang bengkok, pastilah para emak memiliki kekurangan dan kelemahan. Apa yang diinginkan pada anaknya, tidak selalu bisa dilakukan. Akan tetapi, para emak bisa melakukan apa yang sudah dilakukan oleh ibunda Imam Syafi’i, yakni beliau tegar melepas putranya untuk menimba ilmu, meski tempatnya sangat jauh.
Ketegaran dan kuatnya seorang ibu inilah yang penting. Banyak kisah yang bisa diteladani, seperti kisahnya Umu Imaroh, dll. Oleh karenanya, penting bagi seorang perempuan, mempersiapkan diri sebelum menghantarkan putra-putrinya menjadi generasi hebat.
Ada beberapa poin yang bisa dilakukan. Pertama, menyiapkan bekal ilmu sebelum menikah. Sebagai seorang Muslimah, sedari awal harus memahami bahwa tugas utama seorang perempuan ketika sudah menikah adalah sebagai ibu dan pengatur rumah. Oleh karenanya, sebelum terlambat, sebelum datangnya jodoh, sudah siap dengan ilmunya.
Kedua, memiliki visi misi yang sama dengan pasangan. Sekalipun madrasatul ula itu terletak pada seorang ibu, tetapi tanggung jawab mendidik anak tetaplah kewajiban bagi kedua orang tuanya. Oleh karenanya, pemahaman antara ayah dan bundanya harus sama. Anak akan bingung, bila orang tua memiliki pemahaman yang berbeda. Misalnya, ibunya membolehkan, sedang ayahnya tidak membolehkan.
Ketiga, istiqomah dalam jamaah. Visi misi yang sama tentu yang paling mudah jika orang tua berada dalam jamaah yang sama. Di sisi lain, bergabungnya pada jamaah, tentu membuat orang tua terdidik dengan pemahaman Islam dan nuansa perjuangan.
Anak-anak pun bisa langsung dilibatkan, seperti mengajak mereka saat hadir di majelis ilmu, dsb. Saat melihat orang tuanya semangat mengkaji Islam, tidak gampang menyerah saat diuji sakit atau kondisi sedang hujan, di situlah anak akan merekamnya menjadi catatan tersendiri bagi anak.
Keempat, mengikuti kelas parenting. Tidak dimungkiri, hal-hal yang sepele, masalah teknis sering kali menjadi persoalan dalam rumah tangga. Oleh karenanya, baik sebelum ataupun kala sudah menikah, perlu menimba ilmu parenting. Kalaupun tidak mengikuti kelasnya, sangat penting membaca bacaan mengenai parenting. Tentu saja parenting yang seirama dengan keinginan kita, misalnya parenting islami ataupun parenting keluarga ideologis.
Kelima, butuh self healing. Tidak dimungkiri, di tengah kehidupan kapitalisme saat ini, tugas emak sangat berat. Sudahlah dipusingkan dengan mengatur keuangan karena semua harga kebutuhan dapur meroket, ditambah lagi tantangan untuk anak di zaman ini sangat luar biasa. Oleh karenanya, sebelum stress menumpuk, seorang ibu butuh waktu untuk self healing. Bisa dengan memperbanyak taqarrub ilallah, menumpahkan segala rasa pada Sang Mahakuasa. Ataupun, bisa dengan menyalurkan hobi seperti memasak, menjahit, membaca ataupun menulis.
Demikianlah yang semestinya dilakukan oleh para ibu atau emak masa kini. Emaknya ‘strong’, anaknya kuat. Ibunya hebat, insyaallah anaknya pun lebih hebat. Wallahua’lam.