Oleh: Wina Fatiya
Anak-anakku selalu riang jika ada abang paket datang. Apalagi jika yang dicari oleh abang itu adalah nama mereka. Mereka sampai bersorak bak mendapatkan piala kemenangan. Kelucuan dan kepolosan mereka setiap harinya menjadi hiburan spesial bagiku.
“Ayo, Bu, buka paketnya! Ibu beli apa?” tanya si sulung penasaran.
“Ibu nggak beli apa-apa, Nak. Alhamdulillah Ibu dapat rezeki dari Ustadzah di komunitas ODOJ,” jawabku menjelaskan sembari membuka paket itu.
Melihat pengemasan paket yang begitu erat dan susah dibuka dalam sekali sobekan, akhirnya kuajak anak-anak bermain tebak-tebakan terlebih dahulu.
“Ayo coba tebak, apa isi paketnya?” sahutku sambil memotong pembungkus paket dengan gunting.
“Kerudung, Bu,” teriak si sulung.
“Tas, Bu,” sahut si anak tengah.
“Es tlim, Bu,” jawab si bungsu ikut-ikutan.
Sontak kami semua tertawa mendengar jawaban si kecil. Mana mungkin es krim dikirim dalam paket seperti ini. Dalam bayangan kami, tentulah es krimnya sudah berubah menjadi air.
Jreng … jreng … ternyata isi paketnya adalah buku yang selama ini ingin sekali kubaca.
“Alhamdulillah,” gumamku membuka plastik pembungkus buku itu. Tersibaklah halaman demi halaman lautan ilmu yang membuatku tak sabar ingin melahapnya.
Melihat isi paket itu adalah buku, mereka kompak berseru, “Buku lagi?”
“Bu, kenapa hadiahnya selalu buku?” tanya si tengah sembari duduk di pangkuanku. Ia penasaran dengan lembaran buku yang sedang kubolak-balik.
“Nak, hadiah itu mencirikan maksud terdalam dari pemberinya. Jika hadiah itu adalah buku, maka pemberinya sangat berharap, buku itu bisa menjadi amal yang pahalanya panjang. Tidak sekadar hadiah yang habis sekali pakai. Apalagi ilmu di buku ini bisa membuahkan pahala berkali-kali lipat ketika ilmunya diterapkan lalu disebarkan ke orang lain.”
“Jadi, kalau kalian dapat hadiah, mau hadiah buku atau es tlim?” godaku pada mereka sembari mencubit halus hidung si bungsu yang sedang menirukan setiap kalimat dari ucapanku dengan gayanya yang khas. Sungguh menggemaskan.
Mereka pun tersenyum diiringi raut muka bingung. Mereka dilematis untuk menjawab. Di satu sisi mereka sangat suka es krim. Di sisi lain, ibunya baru saja menjelaskan filosofi keutamaan hadiah buku.
Aku bisa menangkap kebingungan mereka. Segera kududukkan si bungsu di pangkuanku yang lain. Si sulung yang tak beranjak dari hadapanku dengan setia menantikan reaksiku selanjutnya.
Kujelaskan pada mereka bahwa kita harus bersyukur dan berbahagia dengan apa pun pemberian dari orang lain. Sebab, hadiah itu hakikatnya adalah rezeki dari Allah. Namun, sebaik-baik hadiah adalah hadiah yang amalnya bukan hanya bisa dirasakan di dunia, namun juga di akhirat. Itulah gambaran cara pandang seorang Muslim yang tujuannya adalah surga dan ridha Allah.
Mendengar penjelasanku yang panjang kali lebar, mereka mengangguk pelan. Entah paham atau tidak, setidaknya aku berusaha menancapkan sisi aqidah dalam setiap peristiwa dan perbuatan. Aku berdoa semoga kelak mereka menjadi orang-orang yang bijaksana dan cerdas memanen hikmah dalam hidupnya.
Bekasi, 15 Maret 2022