Oleh: Nunik Umma Fayha
Menjadi single (sendiri) bukan pilihan. Sayang, menjadi single sering mendapat tuduhan. Dianggap terlalu pemilih, ketinggian maunya dan sebagainya. Bikin sesak dada kalau dipikirkan.
Dahulu saat kuliah saya bercita-cita menikah di usia 25 tahun. Alhamdulillah, sampai mendekati 30 masih anteng. Eh, berlanjut terus sampai masuk 39 tahun. Sungguh masa kritis.
Pertanyaan dan tuduhan cukup kujawab dengan senyum. Kadang balik menantang. “Mana kalau punya calon, kenalin sini!” ujarku. Biasanya sih, berakhir cengiran.
Memang, yang namanya jodoh, berjodoh, agak susah diterka pakai logika matematika. Saya merasa sudah membuka diri, menyerahkan diri ke teman-teman shalihah untuk dikenalkan dengan sang calon, tapi tak kunjung hadir juga.
Sampai di satu titik, saya merasakan kejenuhan yang sangat. “Apa iya kehidupan saya akan begini saja? Kerja seharian, kalau weekend kerjaannya cuma window shopping, membuat penat diri atau sesekali silaturahmi ke saudara. Dangkal banget!” pikirku.
Rasanya ingin ngaji muncul. Tapi, teman-teman yang diminta tolong mencarikan kelompok ngaji, hanya bertangan kosong. Sementara, taklim di ahad pagi saja tidak cukup mengisi dahagaku.
Akhirnya, saya pasrah, berserah atas ketentuan-Nya, hanya ikut apa pun yang terbaik. Saya pun meniatkan diri untuk hijrah dalam arti sesungguhnya. Hijrah dari lingkungan yang tidak mendukung. Lingkungan yang membuat diri merasa baik-baik saja menjadi single. “Its ok to be single. Dahaga ilmu pun harus mendapat pemenuhan,” ujarku.
Di saat kondisi pasrah ini, datang seorang teman menanyakan kesediaan. Yang ditawarkan sebetulnya teman sekolah, tapi kami tidak pernah beraktivitas bersama sekalipun. Bahkan, bisa dibilang hanya kenal nama.
Alhamdulillah, Allah mudahkan proses. Meski belum ngaji, kami berusaha sebisa mungkin menjalankan syariat meski dalam keterbatasan.
Lucunya, saat lamaran, katanya dalam hati calon suami berkata, “Ini to ternyata orangnya. Hahaha…” Saya tahu cerita ini setelah beberapa lama menikah. Terang saja saya langsung bertanya, “Salah orang ya?”
Saya lupa tepatnya jawaban beliau. Yang jelas, kami sama-sama tidak punya pengalaman romantis. Tapi, suami berusaha untuk jadi romantis. Sementara, saya selalu malu-malu.
Alhamdulillah, dengan keterbatasan ilmu, kami terus berusaha mengasah diri, memperbaiki diri dan saling mendukung. Kami bersyukur dipertemukan pada usia merayap ke empat puluh tahun.
Saya bersyukur juga selama jadi teman sekolah kami tidak berinteraksi bersama. Karena, ternyata kami sama-sama keras. Kami makin merasa rendah di hadapan-Nya. Dia Yang Maha Membuat skenario. Sebab, kami meyakini sekali, husnudzan kami dijawab dengan kebaikan berlimpah. Sejatinya kami hanya berusaha dan berserah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum 30: Ayat 21)
Ali Bin Abi Thalib mengajarkan, “Ya Allah, Saat aku kehilangan harapan dan rencana, tolong ingatkan aku bahwa Cinta-Mu jauh lebih besar daripada kekecewaanku. Dan rencana yang Engkau siapkan untuk hidupku jauh lebih baik daripada impianku.”