Hijrah ke Gubuk Bertuah

0
934

Oleh: Hazimah Khairunnisa

Namaku Anisa, remaja usia 17 tahun yang selalu ingin menjadi dewasa dan berkuasa. Bagiku, menjadi dewasa itu memiliki kebebasan untuk berbuat banyak, tanpa harus diderek, dicekik, apalagi dicari-cari kala tak lekas pulang ke rumah.

Setelah lulus SMA, orang tuaku mengirimku berkuliah di kota besar. Walaupun kami keluarga prasejahtera dan hidup di pelosok desa, orang tuaku tetap ingin aku menjadi lebih berguna di kota itu. Pikirku, mungkin mereka lelah dengan tingkah polahku yang selalu membuat onar selama di desa.

“Nis, Ayah belum bisa kasih kepercayaan buat kamu tinggal sendiri di kota. Kamu Ayah titip sama paman, ya. Jaga kelakuan kamu di sana. Jangan bikin ayah dan ibumu malu. Mengerti kamu?” pesan ayah saat aku membereskan tas ranselku untuk besok dibawa ke kota.

***

Di kota, aku hidup menumpang sementara di rumah saudara kandung ayahku. Aku masih berprasangka buruk pada orang tuaku. Aku pikir, walaupun kepergianku resmi untuk lanjutkan pendidikan, namun hakikatnya mereka membuangku. Mungkin mereka jera merawatku selama ini. Pikiran buruk seperti itu terus menggelayuti. Seolah aku dititipkan laksana anak yang sengaja dibuang. Sedih.

Prasangka burukku membuatku kurang bersyukur. Aku merasa bekal uang saku yang diberikan ayah seadanya, bahkan cenderung kurang. Dititipkan di rumah saudara ayah, tetap saja aku merasa masih terkekang. Merasa tetap tak bisa bebas ke mana saja, malahan aku dijadikan seperti pembantu di rumah itu. Mengerjakan segala macam pekerjaan rumah tangga, mencuci, menyetrika, mengepel, menyapu, dan segala pernak pernik rumah tangga, kecuali memasak.

“Nisa, kamu bantu-bantu, ya di rumah ini. Secara rumah ini tidak ada pembantunya,” ungkap tante kala ayah sudah pergi dari rumah itu.

Sebelum berangkat ke kampus, aku mengerjakan pekerjaan rumah dulu. Pulang dari kampus, aku pun harus kembali mengerjakan pekerjaan rumah. Tersiksanya. Apalagi, kala itu aku tak punya satu pun kemahiran dalam mengurus urusan rumah tangga. Jangankan mencuci, menyapu rumah saja aku tak pernah. Semua kebutuhanku dikerjakan oleh ibu, dan aku hanya duduk manis, makan enak dan tidur nyenyak.

***

Satu semester pertama kujalani dengan susah payah. Karena merasa elah dan tertatih, tak jarang aku melakukan kesalahan, tak sengaja memecahkan piring saat mencucinya, menghanguskan pakaian saat aku menyetrikanya. Namun, walaupun itu kecerobohanku, aku tak suka hal ini diperbesar hingga ke telinga orang tuaku di desa. Semakin ingin rasanya aku pergi dari rumah pamanku itu.

Hari-hariku terus saja dihantui prasangka buruk. Kekesalanku bertambah, bukan hanya pada orang tuaku, tapi juga kepada paman dan tante serta anak-anak mereka. Aku kesal karena merasa tak dibantu. Mereka seolah tak peduli, padahal aku sudah lelah karena tugas kuliah. Konsentrasi belajarku pun terganggu.

***

Suatu ketika, di kampus, aku didatangi seseorang yang menawarkan rumah kontrakan. Harganya lumayan murah dibanding rumah kosan lainnya. Jika diingat, kala itu rumah kosan sepetak kecil 300.000-600.000/bulan tiap 1 kamar, lengkap kamar mandi, kasur dan lemari. Sedangkan, rumah kontrakan yang ditawarkan ini hanya 100.000/bulan sudah dengan biaya listrik, tapi dibayar sekaligus 3 bulan. Wow … Bagiku, itu sebuah harapan untuk kabur dari “siksaan” di rumah itu.

“Akhirnya aku bisa keluar dari rumah yang penuh siksaan ini,” ucapku. Betapa bisikan setan telah banyak merasuki pikiranku ketika itu hingga aku menjadi orang yang kurang bersyukur.

Segala cara pun aku lakukan agar bisa keluar dari rumah paman itu. Aku menawarkan untuk pindah dari rumah itu kepada orang tuaku dengan alasan lokasi kontrakan itu lebih dekat dari kampus dan aku punya banyak teman di rumah kontrakan itu. Orang tuaku pun menyetujuinya dengan kebebasan bersyarat. Lega …

***

Senja itu, selesai sudah prosesi pindahanku ke rumah kontrakan itu. Rumahnya sangat sederhana, ada 3 kamar, 1 ruang tamu, 1 ruang tengah, 1 dapur, dan 1 kamar mandi bersama. Cukup sederhana, lebih tepatnya ini bukan rumah, tapi gubuk, karena lantainya saja masih tanah. Walaupun gubuk, penghuninya adalah mereka yang memiliki akhlak yang baik.

Aku namai rumah kontrakanku sebagai “Gubuk Bertuah”. Di sana aku tak sekedar menumpang tinggal dari terik dan hujan. Tapi, di sana pula aku dididik dan dibimbing, terutama dalam urusan ibadah. Mulai dari sholat wajib berjama’ah, merutinkan membaca Al-Qur’an sambil dicek benar tidaknya, hingga pola interaksi dan pola berpikir agar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah. Tak heran bila rumah kontrakan kami disebut Rumah Binaan oleh warga sekitar.

Kamarnya kecil, dindingnya agak kumuh, pintunya saja dari triplek. Namun, entah mengapa, suasana gubuk ini umpama “surga”, tenang lagi menenangkan. Setiap 5 waktu, selalu ada saja tawa gemuruh dan ajakan untuk sholat berjama’ah. 3 kamar 6 penghuni, serasa di pesantren. Masing-masing punya cara tersendiri agar yang masih tidur pulas bisa segera bangun untuk sholat berjama’ah di rumah itu.

”Nisa … Ayo bangun sholehah cubby. Udah waktunya sholat berjama’ah, nih. Ditunggu, ya, di ruang depan. Yang lain sudah menunggu tuh,” sapa kakak senior di rumah itu dengan ramah dan penuh kasih sayang.

Sholat berjama’ah, makan berjama’ah, masak berjama’ah, semua serasa ringan. Di saat kiriman tak kunjung datang, uang saku menipis, hingga untuk sebatang es lilin harga 500 rupiah pun tak terbeli, di saat itu mereka berbagi padaku. Memberikan pinjaman hingga kiriman orang tua sampai.

Di gubuk ini, aku mengenal kasih Tuhanku. Aku makin memahami tentang ajaran Islam. Bagaimana Islam mengajarkan kasih sayang dan persaudaraan. Kami dipersaudarakan karena iman, walaupun kami tidak sedarah. Indahnya …

Tempaan ibadah dan pengayaan pola berpikir agar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah yang kudapat di gubuk itu membuatku sadar. Betapa selama ini aku kurang memahami kasih sayang orang tua dan keluargaku kepadaku. Mungkin memang ada cara mereka yang tak kusuka. Tetapi, kini aku sadari semua itu mereka lakukan demi kebaikanku.

Kebebasan yang kuinginkan selama ini yang tak diberikan oleh ayahku, itu karena kekhawatirannya pada keselamatan dan kehormatanku. Kerja keras yang harus aku lakukan di rumah pamanku, justru menjadi modal bagiku ketika aku mandiri bersama teman-temanku. Sebab, selama ini aku mengandalkan dan enggan membantu ibuku mengerjakan pekerjaan rumah.

Dalam renunganku di Gubuk Bertuah, aku mendapat banyak pelajaran. Aku berubah. Aku bertaubat dan bersyukur. Prasangka burukku sebagai anak buangan telah hilang. Kekesalanku pada ayah ibu pun sirna. Yang ada hanya rasa cinta dan rindu yang membuncah. Ingin aku bersimpuh minta maaf kepada mereka. Semangat belajarku membara. Aku ingin menjadi anak berbakti dengan pulang membawa prestasi.

***

Pada akhirnya, karena satu dua hal, gubuk itu pun direnovasi oleh pemiliknya. Kami berenam terpaksa mencari rumah kontrakan lainnya. Walau harus pindahan rumah, tetap saja semangat kebersamaan itu masih membara. Tidak lagi dipikirkan ini barang siapa dan punya siapa, semuanya dikumpul jadi satu dan di angkut bersama-sama. Dengan itu aku merasa memiliki keluarga dan ‘rumah’ baru, walau bukan dari keluarga dan rumahku sendiri.

Tersisa sepenggal kata penuh makna yang pernah kutulis dalam diariku kala aku masih di gubuk bertuah itu, “Carilah tangan yang akan menggenggam kita saat kita jatuh. Mata yang selalu melihat kebaikan kita saat kita tak sempurna. Dan hati yang senantiasa menerima kita saat kita keseorangan.” Itulah indahnya persahabatan, kekeluargaan yang dijalin atas dasar iman dan Islam.

Artikulli paraprakCiri-ciri Penceramah Radikal, BNPT Buat Kegaduhan
Artikulli tjetërKoreksi Sistem Pendidikan untuk Generasi
Visi : Menjadi media yang berperan utama dalam membangun kesadaran umat tentang fakta kebutuhan mengembalikan kehidupan Islam. Semua isi berupa teks, gambar, dan segala bentuk grafis di situs ini hanya sebagai informasi. Kami berupaya keras menampilkan isi seakurat mungkin, tetapi Linimasanews.com dan semua mitra penyedia isi, termasuk pengelola konsultasi tidak bertanggungjawab atas segala kesalahan dan keterlambatan memperbarui data atau informasi, atau segala kerugian yang timbul karena tindakan berkaitan penggunaan informasi yang disajikan. Linimasanews.com tidak bertanggungjawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis yang dihasilkan dan disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik “publik” seperti Opini, Suara Pembaca, Ipteng, Reportase dan lainnya. Namun demikian, Linimasanews.com berhak mengatur dan menyunting isi dari pembaca atau pengguna agar tidak merugikan orang lain, lembaga, ataupun badan tertentu serta menjauhi isi berbau pornografi atau menyinggung sentimen suku, agama dan ras. Segala isi baik berupa teks, gambar, suara dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Linimasanews.com. Semua hasil karya yang dimuat di Linimasa news.com baik berupa teks, gambar serta segala bentuk grafis adalah menjadi hak cipta Linimasanews.com Misi : * Menampilkan dan menyalurkan informasi terbaru, aktual dan faktual yang bersifat edukatif, Inspiratif, inovatif dan memotivasi. * Mewadahi bakat dan/atau minat sahabat lini masa untuk turut berkontribusi membangun kesadaran umat tentang fakta kebutuhannya mengembalikan kehidupan Islam melalui literasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini