Linimasanews.com—Memperhatikan perkembangan dan jalannya kehidupan di bangsa ini khususnya di sepanjang tahun 2022, berikut merupakan catatan penting dinamika sosial dari sudut pandang hukum baik dari segi ide, konsep maupun dari aspek penerapannya.
Sejarah sosial Indonesia pada saat ini masih harus ditulis orang, apalagi sejarah sosial hukum Indonesia, yang akan menjelaskan mengenai hubungan antara hukum dan masyarakatnya dalam perkembangan sejarah.
Uraikan berikut ini merupakan suatu Pembicaraan mengenai hukum dan perubahan sosial kaitannya dengan sejarah masyarakat bersangkutan.
Ada macam-macam hukum yang berlaku di Indonesia, namun ada beberapa catatan penting yang dapat dengan mudah dicermati hingga di penghujung tahun 2022 ini yaitu :
1. Hukum Pidana
Bahwa tahun 2022, tercatat cukup banyak yang melakukan penistaan agama, Mulai dari kasus pelecehan kita suci Al-Qur’an, penghinaan terhadap Rasulullah SAW, dan simbol-simbol serta ajarannya. Para pelaku penista agama masih mudah bersuara atas nama kebebasan.
Di tahun 2022 juga tercatat adanya KUHP yang disahkan yang memuat ketentuan yang berpotensi digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi, artinya selain dari UU ITE yang pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya.
Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu. Hingga kini, jumlah korban kriminalisasi UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari kriminalisasi UU ITE pun bermacam-macam.
Bukan hanya pasal ITE, begitu juga pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yaitu menyebarkan kebohongan yang sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat, maka dengan disahkannya KUHP yang baru peluang kriminalisasi melalui Pasal karet lebih banyak terjadi sebab penafsiran dari pemegang kekuasaan.
2. Hukum Agraria / Pertanahan
Penghujung tahun 2022, tercatat semakin marak terjadi kasus yang berhubungan dengan kepemilikan objek tak bergerak seperti sebidang tanah dan/atau berikut bangunan yang berdiri di atasnya , yaitu hilangnya kepemilikan dengan modus tertentu yang secara hukum sangat dimungkinkan untuk itu.
Berlindung di balik akta-akta atau legal draft tertentu, seseorang bisa kehilangan kepemilikannya atas objek tidak bergerak miliknya hanya karena suatu utang-piutang. Hal ini masih sangat berpotensi terjadi bahkan akan semakin marak terjadi manakala sistem hukum yang digunakan saat ini memang menyediakan jalan untuk itu.
3. Hukum Perdata
Sampai dengan penghujung tahun 2022, tidak terjadi tren penurunan yang signifikan terhadap persoalan hukum keluarga, khususnya tentang angka perceraian yang kian tinggi. Hal ini tidak diikuti dengan meningkatnya pemahaman tentang hukum pernikahan sehingga hal yang seharusnya merupakan dasar seperti hak dan kewajiban bisa sangat diabaikan sehingga mudah sekali memicu pertengkaran antara suami dan istri yang berujung pada perceraian. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor diantaranya tidak adanya pranata atau Lembaga atau institusi yang bertanggung jawab atas kesiapan seorang manusia mengemban kehidupan.
Pendidikan yang ada tidak mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan secara riil melainkan masih berbasis pada angka-angka melalui penilaian-penilaian pada sekolah, selain itu standar dewasa pada KUHPerdata yaitu usia 21 tahun menjadi acuan seolah minimum usia 21 tahun adalah usia kecakapan secara perdata seseorang yang berimplikasi pada standar penentuan kematangan dalam pemberlakuan fungsi hukum privat.
Tercatat di beberapa daerah, Lembaga peradilan mengabulkan permohonan pernikahan beda agama. Jika merujuk pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa “…. menurut hukum masing-masing agama….”. Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. Ketentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
4. Hukum Administrasi Negara
Perusahaan yang ingin menjual minuman beralkohol harus memiliki izin Surat Izin Tempat Usaha Penjualan Minuman Beralkohol (SITU-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) agar legalitas usahanya diakui oleh Pemerintah. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka usaha tersebut dapat dikenakan sanksi oleh instansi terkait.
Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 mengatur minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor dikelompokkan dalam 3 golongan:
• Golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) di atas satu persen sampai lima persen
• Golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol lebih dari lima persen sampai 20 persen
• Golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol lebih dari 20 persen sampai 55 persen
Munculnya problematika hukum administrasi ada karena pengaturan mengenai minuman beralkohol yang senyatanya miras saat ini telah mewabah di masyarakat dan telah timbul dampak buruknya secara nyata. Ada yang putus sekolah, ada yang jadi tahanan di penjara, dan ada pula yang mati mendadak karena disebabkan oleh miras. Miras diharamkan enam agama akan tetapi di Indonesia masih diakui. Satu-satunya agama yang menghalalkan alkohol dan miras adalah agama uang (The Religion of Money), hal ini tidak lain karena bisnis alkohol dipandang sebagai ladang basah yang perlu diakomodir dengan hukum administrasi dengan perizinannya.
Demikian catatan penting di penghujung tahun 2022 ini, sebenarnya ada begitu banyak persoalan lain di negeri ini dari sudut pandang hukum yang tidak kalah pentingnya dan bersifat klasik misalnya praktik suap menyuap / rizwah dalam praktik penegakan hukum, praktik riba yang berujung pada kerusakan pada sistem tatanan masyarakat mulai dari skala keluarga hingga berdampak pada harta benda perorangan maupun badan hukum, yang apabila disebutkan satu persatu tidak akan ada habisnya.
Hingga tahun 2022 berakhir, kerusakan demi kerusakan masih terjadi dan masih akan terjadi sebab sistem hukum yang berbasis pada kehendak manusia, dalam kata lain supremasi hukum yang dimaksud dalam konteks demokrasi yang secara Bahasa berasal dari Bahasa Yunani Demos dan Kratia/Rakyat dan Hukum yang bagi pengusungnya, merupakan pemerintahan rakyat, artinya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Rakyat merupakan pemegang kekuasaan mutlak, hal ini sebenarnya telah jelas bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-An’Am ayat 57 yang artinya, “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” dan ayat ayat lain dalam Al-Quran yang sudah jelas pertentangan antara kedaulatan pembuatan hukum di tangan rakyat atau Allah.
Demikianlah hukum dipandang berdiri di atas 3 pilar, kepastian, keadilan dan kemanfaatan, sedangkan keadilan dalam konteks hukum sampai dengan saat ini juga masih bertentangan dengan dalil dalam Al-Quran sebagaimana dalam surat At-Tin ayat 8 yang berbunyi, “bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya”.
Maka berdasarkan apa yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan bahwa konteks hukum masih membawa berbagai macam problematika, tidak hanya sampai tahun 2022, akan tetapi di tahun-tahun berikutnya sepanjang hukum masih ditafsirkan menurut apa yang dikehendaki manusia melalui sistem demokrasinya dimana hukum masih didasarkan pada kehendak suara manusia terbanyak.
Demikian refleksi akhir tahun 2022 dari sudut pandang hukum secara praktis, semoga mudah untuk diikuti, dipahami selanjutnya memberikan inspirasi bagi para pembaca yang masih memiliki kepedulian terhadap umat untuk memperbaiki keadaan yang hingga saat ini masih dan semakin mengalami kemerosotan dan semakin terjadi kerusakan.[]Fang