Oleh: Awiet Usman
(Pegiat Literasi, Dumai-Riau)
“Dibutuhkan seseorang yang benar-benar berani untuk menjadi seorang ibu, seseorang yang benar-benar kuat untuk membesarkan seorang anak, dan seseorang yang benar-benar spesial untuk mencintai seseorang lebih daripada dirinya sendiri.” (Anonim)
Linimasanews.com—Menjadi seorang ibu itu berat karena proses belajarnya tak ‘kan pernah usai. Setiap detik, sepanjang hidup dan tidak ada sekolah mana pun yang dapat mengajarkan ilmu lengkap menjadi seorang ibu. Beban berat yang dipikul oleh seorang perempuan bergelar ibu, tidak akan pernah bisa dipikul oleh seorang laki-laki yang bergelar ayah.
Kepayahan yang dilalui saat proses kehamilan (sembilan bulan sepuluh hari), melahirkan dan menyusukan tidak akan pernah bisa diwakilkan. Bahkan kepayahan itu telah dideskripsikan secara transparan dalam Alquran surah Luqman, Ayat 14 yang berbunyi :
“Hamalathu ummuhu wahnan ‘ala wahnin wa fishaaluhuu fii ‘aamaini”, yang artinya “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.”
Figur Seorang Ibu
Menjadi seorang ibu tidak cukup hanya dengan melalui proses melahirkan, lalu punya anak dan jadilah seorang ibu. Karena jika demikian, kucing sekalipun bisa melalui proses beranak dan punya anak. Tentu saja bukan begitu konsepnya.
Menjadi figur seorang ibu harus memiliki kesiapan mental dan ilmu parenting yang cukup, dan tentu saja nilai-nilai agama sebagai fondasinya. Kekuatan figur seorang ibu akan membuat anak kapabel untuk memfilter apa saja yang boleh diimplementasikan atau dieliminasikan dari ekosistem sosialnya.
Bahkan para pakar pendidikan menatarkan bahwa keteladanan adalah edukasi yang paling efektif dan impresi dalam mengekspresikan tata nilai kehidupan. Dengan kata lain, kualitas seorang ibu akan menjadi manifestasi kualitas generasi dan regenerasi masa depan karena bagi anak ibu adalah parameter pertamanyanya dalam segala hal.
Tantangan Menjadi Seorang Ibu di Era Society 5.0
Era Society 5.0 adalah era di mana digitalisasi menjadi bagian dari manusia itu sendiri untuk berekspresi dan menjalani kehidupan dan tidak hanya menjadi media untuk berbagi informasi dan menganalisis data. Konsep Society 5.0 yang digagas oleh negara Jepang, memungkinkan manusia dapat hidup lebih efektif dan nyaman dengan mengadaptasikan ilmu pengetahuan yang berbasis modern seperti IoT, AI, dan Robot. Istilah mengenai era ini sendiri sudah populer sejak tahun 2021, tepatnya pada tanggal 21 Januari 2021 yang ditetapkan sebagai resolusi atas revolusi industri 4.0.
Namun, tak dapat dinegasikan bahwa kemajuan teknologi digital ini telah banyak mendegradasi nilai-nilai sosial dan kekeluargaan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketergantungan manusia terhadap teknologi digital telah membuat tergerusnya kontribusi manusia lain dalam kehidupan bersosial.
Interaksi, komunikasi, edukasi, apresiasi, simpati, silaturahmi, bahkan rasa antipati semuanya dilakukan hanya via media teknologi digital atau yang lebih dikenal dengan istilah jejaring sosial dan media sosial (medsos). Semua aktivitas ini begitu mudah dilakukan, karena hanya memerlukan sebuah sentuhan di ujung jari untuk mengaktualisasikannya.
Ironis memang, karena pada akhirnya ada banyak orang yang tenggelam dalam dunia mayanya sendiri. Manusia telah kehilangan nilai esensialnya sebagai makhluk sosial. Begitulah impresi negatif dari teknologi digital ini sehingga mampu menimbulkan perubahan budaya kultural yang signifikan.
Begitu juga dengan kontribusi dan dedikasi seorang ibu. Ibu zaman now dituntut untuk menjadi seorang Ibu yang mindful dalam mengaktualisasikan perannya dalam keluarga. Mafhum dengan cara kerja otak anak, piawai dalam literasi digital dan up to date dalam memahami pola kembang anak zaman now.
Paradigma pola asuh otoriter di zaman generasi kolonial, tidak bisa diimplementasikan kepada generasi milenial atau generasi Y. Apalagi kepada generasi Z, alfa, dan bahkan generasi beta nantinya. Semua harus berkembang mengikut zamannya.
Tantangan menjadi seorang ibu di Era Society 5.0 adalah sangat berat. Jika agama tidak menjadi landasan utamanya, maka menghasilkan generasi yang kuat, tangguh, berkualitas, beretika, beradab, dan menjadi manusia yang Qur’ani hanya akan menjadi sebuah paradoks.
Edukasi Syariat Islam
“Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.”
Artinya, “Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.” (Hafiz Ibrahim)
Edukasi Syariat Islam Sejak Anak dalam Kandungan
Edukasi anak sejak dalam kandungan ibunya, dapat dilakukan oleh seorang ibu dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menjaga diri dari makanan yang haram.
2. Menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
3. Menjaga diri dari emosi yang berlebihan.
Hal ini tentu saja memerlukan kontribusi dan dedikasi dari seorang suami untuk menjadi support sistem serta dapat merekayasa ekosistem sosial yang ideal bagi istrinya.
Edukasi Parenting Islam jadi Solusi
Edukasi parenting Islam adalah ilmu pendidikan interaksi antara orang tua dan anak dalam mengasuh, membimbing, dan membersamai buah hatinya dengan berlandaskan kepada syari’at Islam kaffah.
Edukasi karakter meliputi beberapa fase, di antaranya:
1. Akidah
Menanamkan prinsip-prinsip tauhid dalam hati anak serta menjadikan akidah sebagai sebuah esensi penting dalam proses menjalani hidup dengan mengeksplorasi pemikiran tentang agama dan sang maha pencipta yaitu Allah Subhanahu W
Wa Ta’ala.
2. Ketaatan terhadap perintah agama
Menanamkan iman sejak dini yang lahir dari kesadaran qalbu tentang ketaatan terhadap perintah agama sebagai manusia yang diciptakan untuk menyembah hanya kepada Sang Khalik.
3. Kejujuran dan amanah
Kejujuran dan amanah menjadi akhlak yang fundamental untuk menstimulasi sebuah pribadi yang baik.
4. Qana’ah dan ridho
Mensyukuri dan menghargai (qana’ah) semua yang telah dimiliki serta ridho dan sabar dengan semua yang telah dan sedang terjadi karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hambanya.
5. Menumbuhkan semangat, percaya diri, dan pantang menyerah
Selalu memotivasi anak untuk menjadi dirinya sendiri, pantang menyerah serta melakukan apa pun yang terbaik versi dirinya, bukan terbaik versi orang lain.
Selain poin di atas, tentu saja masih banyak beberapa hal lain yang menjadi elemen penting yang memengaruhi tumbuh kembang seorang anak dan selalu membutuhkan atensi dan back up sistem dari kedua orang tuanya.
Penutup
“Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar cintanya orang tua, sampai kita sendiri menjadi orang tua.” (Henry Ward Beecher).