Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.com—Pernyataan Menag Gus Yakut yang mengimbau rakyat agar tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik menuai beragam reaksi.
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengingatkan, jangan sampai pernyataan Menag tersebut justru menimbulkan perpecahan di tengah umat. Ujang menyebut, harusnya para pejabat politik tidak membuat pernyataan yang tidak perlu karena sejatinya masyarakat saat ini sudah banyak yang sadar jika politik identitas, politik SARA, dan politik adu domba harus dihilangkan (republika.co.id, 05/09/2023).
Jelang tahun politik 2024, sejumlah aktor politik mulai menebar pesona dengan segala cara demi meraih simpati masyarakat. Tak sedikit dari mereka yang tiba-tiba berubah agamis guna mendulang suara rakyat.
Sungguh sangat disayangkan, citra politik hancur karena hal yang demikian. Masyarakat terlanjur menilai politik adalah hal yang penuh dengan praktik kotor dan perlu dihindari. Pernyataan sejumlah tokoh seolah menuduh agama sebagai alat politik, makin menggiring pemahaman umat jika agama dan politik adalah hal yang terpisah.
Masyarakat sudah terlalu lama hidup dalam sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya cukup dijadikan sebatas ritual saja, seperti shalat, puasa , zakat, haji, dan zikir. Tak heran jika hal ini menyebabkan sebagian besar umat memandang Islam tak pernah mengajarkan tentang politik. Kondisi ini diperkuat lagi dengan pernyataan sejumlah tokoh yang seolah membenarkan hal tersebut.
Inilah urgensi mengedukasi umat bahwa politik adalah bagian dari Islam. Politik bukan sesuatu yang asing ataupun terpisah dari nilai Islam. Politik dalam Islam dikenal dengan istilah as-siyasah yang berasal dari kata sasa-yasusu-siyasat(an) yang artinya mengatur, memimpin, memelihara dan mengurus suatu urusan. Allah Swt. telah menyebut dalam firman-Nya,
“Dan Kami turunkan kitab Al-Qur’an kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (QS. An-Nahl: 89).
Islam diturunkan oleh Allah sebagai ideologi. Semua hukum dan petunjuk bersumber pada Al-Qur’an dan hadis, termasuk dalam bernegara ataupun berpolitik. Dalam kitab Daulah Islamiah, seorang mujtahid mutlak, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebut, politik adalah mengurus urusan umat dengan menerapkan hukum Islam, baik di dalam maupun luar negeri.
Islam memiliki sistem politik yang baku yang dikenal dengan sistem khilafah. Pengangkatan pemimpin (khalifah) dalam khilafah juga bersifat baku, yaitu dengan metode ba’iat (dikutip dari Kitab Ajhizah ad-Daulah Khilafah).
Peradaban Islam pernah berjaya dan berdiri kokoh pada masa kekhalifahan selama 1300 tahun. Pada masa itulah aspek politik tidak bisa dilepaskan dari Islam. Bahkan, ulama-ulama terdahulu yang hidup di masa kekhalifahan mengabadikan hal tersebut dalam tulisan mereka. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumudin juz 1 hal 17 menuliskan bahwa agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama (Islam) merupakan fondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang.
Ibnu Qutaibah menulis perumpamaan antara Islam, kekuasaan, dan rakyat ibarat tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya yang saling berkaitan dan tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya. Sejarah juga telah mencatat keberhasilan kehidupan bernegara yang menerapkan politik Islam. Will Durant dalam bukunya The Story Of Civilization States mengakui jika pada masa kekhalifahan telah memberikan masa keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya. Kesejahteraan yang merata dalam luas wilayah khilafah yang belum bisa tertandingi sampai saat ini.
Fakta-fakta tersebut mempertegas bahwa politik dan Islam bukanlah hal yang terpisah dan saling asing dalam Islam. Bahkan, saat politik Islam diterapkan, terbukti mampu bertahan dan menyejahterakan umat serta mengantarkannya menjadi mercusuar peradaban dunia selama 13 abad.
Sayangnya, hari ini Islam hanya digunakan alat untuk meraih kekuasaan. Hal tersebut terjadi akibat penerapan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Kehidupan dalam sistem sekuler diatur dengan aturan yang dibuat manusia sendiri. Akibatnya, aktivitas politik semata-mata sebagai kendaraan meraih kekuasaan dan menghalalkan segala cara untuk meraihnya.
Saatnya umat Islam saat ini kembali pada konsep politik Islam, yakni mengatur urusan umat sesuai syariat Islam kafah. Islam tidak boleh lagi dipisahkan dari aktivitas politik. Karena, hanya dengan inilah umat akan meraih kemuliaannya dan hidup berkah dalam naungan Islam kafah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.