Oleh: Nur Rahmawati, S.H.
Penulis dan Pegiat Literasi
Ismail adalah putra dari Nabi Ibrahim. Ketika Nabi Ibrahim mengunjungi putranya, beliau tidak jua bertemu, namun yang menyambut selalu istri Ismail. Karena kesibukan Ismail mencari rezeki untuk keluarganya, hingga dua kali ayahandanya tak jua dapat berjumpa.
Istri Ismail berkata, “Ismail sedang keluar mencari rezeki buat kami.” (Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, Maktabah Syamilah).
Hal ini serupa dengan Abu Haitsam bin Taihan. Diriwayatkan, Nabi Muhammad beserta sahabatnya, Abu Bakar dan Umar ketika kelaparan mengunjungi rumah Abu Haitsam. Namun, Nabi tidak berjumpa dengan Abu Haitsam, melainkan bertemu istrinya, lantas berkata, “Marhaban wa ahlan.” Lalu, Nabi mempertanyakan keberadaan Abu Haitsam suaminya.
Dia pun menjawab, “Dia pergi mencari air jernih buat kami semua di sini.”
Kemudian, Abu Haitsam pun datang membawa batang kurma beserta buahnya. Lantas mempersilakan tamunya untuk memakan apa yang dibawanya. Lantas, Nabi berkata, “Jangan Engkau repotkan dirimu dengan menghidangkan susu buat kami.” Namun, Abu Haitsam tetap menyembelih kambing untuk tamunya (Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadhu Ash-Shalihin, Imam An-Nawawi, Muassasah Ar-Risalah).
Kedua riwayat tersebut menggambarkan kepala keluarga yang bertanggung jawab. Karena hakikatnya, kewajiban mencari nafkah keluarga dipikul oleh suami. Karenanya, perlu kesadaran dan edukasi bagi suami dan calon suami bahwa mencari nafkah tidak perlu lagi menunggu untuk diminta, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ismail dan sahabat Abu Haitsam. Kegigihan dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarga akan berbuah pahala. Karena, mencari nafkah akan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
Sebaliknya, jika suami lalai akan kewajiban menafkahi keluarganya sebab malas atau enggan, maka akan berdosa. Laki-laki diberi tenaga lebih kuat dari perempuan tentu Allah memiliki maksud tersendiri. Anugerah ini seharusnya dimanfaatkan untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Jika melihat saat ini, tidak sedikit kepala rumah tangga justru bermalas-malasan dan enggan untuk bekerja atau mencari nafkah. Justru istri dan anaknya yang dijadikan tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan harian. Hal ini adalah kezaliman yang nyata, sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
“Cukup seorang berdosa jika melalaikan orang yang wajib diberi nafkah.” (Abu Dawud dari Abdullah bin Amru, Maktabah Syamilah).
Inilah poin penting dalam hubungan suami-istri. Yaitu, memahami dan selalu belajar akan hak dan kewajiban masing-masing, menjadikan syariat Islam sebagai poros kehidupan berkeluarga, juga mengambil keputusan selalu menyandarkan pada hukum Islam agar tidak ada yang terzalimi. Wallahua’lam bishawab.