Oleh: Asri Mulya
Aku ingin ungkapkan jeritan kisah sedih seorang Ibu
Ibu yang sangat baik hati
Ibu yang sangat dermawan
Ibu yang sangat melimpah kekayaannya
Hingga bisa dirasakan anak, cucu, dan cicitnya
Sampai ke generasi seterusnya
Inilah sosok Ibu yang selalu mulia
Kasihnya sepanjang masa kepada anak-anaknya
Tak terbatas ruang dan waktu
Jasanya tak terhingga
Tak kan ada yang mampu membalas jasanya
Tak bisa dibayar dengan apapun
Sosok Ibu yang selalu bahagia
Inilah sosok Ibu yang tak pernah marah
Meski perhatian anak-anaknya hilang dan timbul
Bagai senja
Anak-anaknya datang saat membutuhkannya saja
Hanya sekedar memanfaatkan kedermawanannya
Lalu kembali pergi menghilang bahkan menjauh
Namun Ibu selalu memaafkan anak-anaknya
Saat anak-anaknya bersalah
Saat anak-anaknya selalu berulah
Saat anak-anaknya tak tahu arah
Saat anak-anak-anaknya tak tahu berterima kasih
Bagai air susu dibalas air tuba
Aku bersedih melihat Ibu menangis
Terlalu nelangsa meratapi nasib anak-anaknya yang naas
Termakan silaunya gemerlap dunia hingga lupa
Tergiur rupiah sampai rakus
Berebut harta dan kekuasaan yang sesungguhnya hanya sementara
Hingga harta Ibu perlahan banyak yang terkuras habis
Lupa dengan saudaranya yang juga punya hak sama
Aku ingin protes dengan keadaan Ibu
Tapi tak sanggup
Tak bisa berbuat apa-apa
Aku ingin membela Ibu
Aku ingin menyuarakan ketidakadilan yang terjadi pada Ibu
Tapi siapa aku ini?
Pasti tak akan pernah didengar mereka anak-anak Ibu
Karena mereka anak-anak Ibu
Sudah tak memperdulikan kehidupan sekitarnya
Anak-anak Ibu sudah terlalu jumawa dan bangga
Tak miliki hati nurani
Tak miliki adab
Tak perduli moral lagi
Yang dipentingkan hanya materi
Yang dipikirkan bagaimana cara pencitraan … pencitraan … dan pencitraan
Sengaja lupa akan janjinya sendiri
Yang dulu ingin membahagiakan Ibu
Bisa membahagiakan saudara-saudaranya
Bisa membahagiakan cucu dan cicit Ibu
Bisa memberikan kedamaian
Bisa memberikan kemakmuran
Bisa menciptakan lapangan pekerjaan
Mana-mana?
Anak-anak Ibu hanya pemain drama
Yang bisa jadi pemain protagonis
Saat berkampanye bermanis-manis mengobral janji
Namun saat sudah jadi penguasa
Akhirnya menjadi pemain antagonis
Yang kejam dan sadis
Tak perduli dengan saudara-saudaranya yang lain
Padahal nasib saudara-saudaranya masih dalam kekurangan
Tak perduli dengan cucu dan cicit Ibu juga
Malah justru dibebankan utang
Hingga banyak merasa sering tersakiti
Hingga sering mengurut dada atas segala tingkahnya
Hingga bingung harus berbuat apa
Menuruti kebijakan yang tak pernah miliki keadilan
Kok bisa?
Iya
Saat korona terjadi pun contohnya
Kebijakan anak Ibu
PSBB dilakukan lockdown dilakukan
Namun aku dan saudara-saudara tidak dapat bantuan
Usaha mencari nafkah sendiri
Padahal ancaman nyawa selalu mengintai
Lucu lagi kenapa mall ramai
Restaurant cepat saji penuh pengunjung tak dilarang
Tapi ko masjid sepi?
Diberikan kebijakan tidak dilakukan salat tarawih
Padahal ini Ramadan bulan penuh magfirah
Pantas kah aku dan saudara yang lain mengeluh ini tak adil?
Wajarkah kalau aku dan saudara yang lain mengeluh semakin sulit jalani hidup ini?
Hidup yang semakin menghimpit
Mencekik leher namun tetap hidup dalam kenestapaan
Tetap hidup dalam kesengsaraan
Aku dan saudara lainnya berharap derita Ibu berakhir
Berakhir bahagia
Semua hidup dalam keadilan dan kemakmuran merata
Dan Ibu pertiwi kembali tersenyum