Oleh: Fathimah A. S.
(Aktivis Dakwah Kampus)
Linimasanews.com—Jumlah korban meninggal akibat gempa bumi berkekuatan 7,8 magnitudo yang mengguncang wilayah Turki bagian selatan dan Suriah bagian utara dilaporkan kembali bertambah. Data terbaru dari otoritas kedua negara menyebut sedikitnya terdapat 36.217 orang meninggal dunia akibat gempa dahsyat tersebut. Jumlah ini masih terus bertambah (news.detik.com, 14/2/2023).
Sayangnya, terdapat kejadian miris terkait gempa tersebut. PBB mengatakan, bantuan ke wilayah terdampak baru sampai pada Kamis (9/2/2023), yaitu tiga hari setelah gempa bumi terjadi (voaindonesia.com, 10/2/2023).
Padahal, kondisi disana sangatlah parah. Banyak bangunan rusak dan hancur, serta orang-orang terjebak dibawah reruntuhan. Bahkan, Kota Aleppo, salah satu yang terkena dampak gempa mematikan tersebut merupakan wilayah perang. Dalam kondisi cuaca dingin, infrastruktur rusak, dan terkena wabah kolera; mereka harus bertahan dalam gempa dan berharap bantuan datang. Para warga juga kesulitan menolong korban yang terjebak reruntuhan karena tidak memiliki alat berat (bbc.com, 8/2/2023).
Bantuan Terhambat
Keterlambatan bantuan di Suriah terjadi karena wilayah yang terdampak gempa merupakan area yang dikuasai oleh Pemerintahan Bashar al-Assad. Pemerintahan tersebut dikesampingkan secara internasional dan mendapat sanksi berat karena penindasan brutal pada 2011. Sehingga, blokade Barat tersebut menyulitkan bantuan ke korban gempa dan memperparah situasi kemanusiaan disana (cnbcindonesia.com, 9/2/2023).
Demikianlah kondisi umat saat ini. Mereka tersekat-sekat oleh batas imaginer bernama negara. Batas ini mampu meruntuhkan rasa kemanusiaan yang secara fitrah dimiliki manusia. Antarnegara tak lagi bersifat peduli. Saat tetangganya sedang mengalami musibah, negara disekelilingnya bersifat abai dan menganggap itu bukan masalahnya.
Kesulitan dalam memperoleh bantuan tersebab sanksi internasional merupakan potret kelam sistem sekulerisme-kapitalisme saat ini. Dalam sistem saat ini, negara yang secara internasional dicap negatif, dapat dibenci oleh seluruh umat manusia. Mereka diperlakukan tidak seperti manusia. Bahkan dalam kondisi musibah sekalipun. Mereka terlunta-lunta dan sulit memperoleh bantuan.
Padahal, apa yang terjadi dalam negara tersebut adalah akibat kekejaman oknum presidennya. Sementara rakyat muslim yang ada didalamnya merupakan korban atas kebiadaban penguasa. Mereka hanya berusaha bertahan hidup dalam kesewenang-wenangan tersebut. Namun, nyatanya dunia internasional memberikan label negatif pada mereka.
Kepedulian dalam Islam
Sebagai seorang muslim, tentu sikap yang benar bukanlah demikian. Seorang muslim adalah saudara satu sama lain. Kita diperintahkan untuk peduli kepada nasib saudara kita, meski berada di daerah lain. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Kaum mukmin itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10).
Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda terkait hal ini.
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, bencana merupakan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bencana merupakan musibah yang datang sebagai ujian dan peringatan bagi manusia. Namun, adanya bencana yang tidak terprediksi bukan berarti manusia dapat bersikap pasrah. Manusia diperintahkan untuk sebisa mungkin menghindari, menghadapi, dan merehabilitasi bencana.
Pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab besar akan hal ini. Sebab, pemimpin adalah pemelihara dan pelindung bagi rakyatnya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi pada rakyatnya. Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam akan mengerahkan segala upaya yang bisa dilakukan terkait mitigasi bencana.
Pada masa Kekhilafahan Utsmaniyyah misalnya, negara melakukan upaya untuk mengantisipasi gempa, yaitu dengan membangun gedung-gedung tahan gempa. Khalifah pada saat itu membayar arsitek hebat untuk membangun masjid-masjid dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh dan dapat menyalurkan beban secara merata. Masjid-masjid tersebut dibangun di tanah-tanah yang telah diteliti cukup stabil. Sehingga, di gempa-gempa besar di atas 8 SR di kemudian hari tidak menimbulkan dampak yang serius pada masjid tersebut.
Khalifah Umar bin Khattab juga pernah memberikan teladan terkait penanganan musibah. Pada saat terjadi paceklik panjang di Hijaz, beliau langsung membentuk tim dari kalangan sahabat untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang terdampak. Para pengungsi tersebut mendapatkan makanan, akomodasi, dan pelayanan terbaik dari khalifah.
Sungguh, satu-satunya peradaban mampu memberikan solusi tuntas atas problem kebencanaan adalah peradaban Islam. Dorongan keimanan dan ketakwaanlah yang membuat pemimpin memahami amanahnya. Tidakkah kita rindu dengan peradaban agung tersebut? Mari kita meneladani jejak Rasulullah ﷺ yaitu dengan mengkaji Islam secara kaffah dan mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bi shawwab.