Oleh: Titin Kartini
“Ting,” handphone-ku berbunyi, segera kuraih benda gepeng yang selalu menemaniku itu. Kubuka dengan senyum, tertera dengan jelas siapa pengirimnya. “Saya dianggap tukang bohong, maaf kayanya ribet hubungan sama kamu, lebih baik aku putusin saja dari sekarang.”
Deg, seketika jantungku mau copot, kubuka isi chatku dengannya apa yang salah, rupanya dia marah ketika kutanya macam-macam tentangnya dan memperjelas siapa diriku agar dia tak mempermainkanku. “Emmm, aneh,” Gumamku.
Aku tertegun untuk sesaat merenungi salahku di mana. Sampai bulir air mata tak terasa menetes hangat di pipiku. “Oh, aku menangis, mengapa harus menangis lirihku.” Ada sesak di dada ini. Tak dapat kumungkiri, kehadirannya menumbuhkan harapanku untuk segera mengakhiri masa lajang. Terlalu banyak angan-anganku saat ia mengatakan ingin menjalani ta’aruf bersamaku. Lewat seorang teman, aku berkenalan dengannya sosok laki-laki salih menurutku. Apalagi ia juga seorang aktivis sama sepertiku.
Ingin kuhubungi, ternyata semua komunikasi sudah dia blokir. Dia tak memberikan kesempatan untuk menjelaskan maksud dari chatku. Kuhubungi temanku, menceritakan semua yang terjadi. Mengapa memberikan harapan wahai akhy, tapi tidak bisa menerima setelah kukatakan apa adanya diriku. Aku hanya ingin kau tahu tak ada yang kusembunyikan. Suatu hubungan untuk saling mengenal atau masa ta’aruf kita memang harus mengatakan tentang diri kita agar tak terkejut nantinya.
Selama dua hari kutahan sesak dan tangis. Akhirnya, temanku berkata, “Alhamdulillah kau harus bersyukur. Itu tanda Allah sayang. Dia beritahu sifat asli orang tersebut yang egois ingin menang sendiri, tak mau berkomitmen. Dia hadir bukan untuk menemanimu, Dia hadir hanya untuk membuatmu lebih kuat. Akan ada seseorang yang lebih lagi, itu pasti Allah janjikan pada hamba-Nya yang sabar dan senantiasa berprasangka baik pada-Nya.”
Memang benar, meski sakit sekali masa ta’aruf, bukan jaminan bahwa ia
akan menjadi jodoh kita. Adakalanya semua tidak berjalan sesuai dengan yang kita kehendaki. “Hayoo masih melamun saja,” sergap Ai meleburkan lamunanku yang panjang tentang angan-angan yang tak terjadi.
“Sudah move on, Neng! Dia tak baik untukmu, Teman,” Hiburnya.
“Iya, aku tahu. Ia yang memilihku tanpa kupinta hadirnya, entahlah ada apa di balik semua ini,” jawabku.
“Ada yang indah sedang menantimu, Bunga sayang,” ucap Ai.
Aku pun tersenyum. Ai memang benar. Aku harus bersyukur tidak jadi dengannya, orang yang ketika ada masalah bukan bertanya dan perbaiki, tetapi malah meninggalkan dan memutus komunikasi tanpa memberi waktu untukku jelaskan semuanya. Dengan entengnya ia berkata, “Tak mau ribet.”
“Jelas dia bukan laki-laki dewasa. Ia tak mau memperjuangkan keinginannya,” kataku. Sebagai perempuan, kita memang dipilih bukan memilih. Namun, kita tidak boleh salah karena untuk wanita salah memilih bisa fatal akibatnya.Salah memilih istri, laki-laki bisa memperbaikinya, tapi untuk perempuan, salah memilih suami, tak bisa mengubahnya, begitu sebuah pepatah mengatakan.
Kutata kembali hatiku, mengumpulkan serpihan-serpihan hati yang berserakan. Kuazamkan dalam diri untuk terus memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada-Nya. Kuisi dengan dakwah hari-hari ku hingga suatu saat nanti ada yang memilihku untuk berjuang dan bersama-sama mengarungi kehidupan demi menggapai rida-Nya dalam ibadah terpanjang bernama “pernikahan.” Mungkin, untuk saat ini, bukan pernikahan yang harus kujalani, tapi memperbaiki diri.
Tak ada yang kusesali dalam pertemuanku dengannya. Semua pasti atas izin-Nya, menjadi ibrah untukku untuk lebih dewasa dalam menghadapi kehidupan ini. Aku selalu yakin rencana-Nya yang terbaik untukku. Allah SWT. berfirman:
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula).”
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Bismilah, kuperbaiki diri dulu hingga Allah pertemukan dengan pasangan yang baik yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.