Oleh. Elna
Linimasanews.com—Tidak kurang dari 13 kecamatan di Kabupaten Garut terendam banjir. Pemerintah Kabupaten Garut menetapkan situasi darurat banjir. Ketinggian banjir bervariasi, ada yang mencapai ketinggian empat meter (Merdeka.com, 16/07/2022).
Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) BNPB, 14 kecamatan yang terdampak itu, antara lain Cikajang, Tarogong Kidul, Pasirwangi, Cigedug, Bayongbong, Tarogong kaler, Samarang, Banyuresmi, Cibatu, Karangpawitan, Garut Kota, Cilawu, Banjarwangi dan Singajaya.
“Sebanyak 6.031 kepala keluarga (KK) atau 18.873 jiwa terdampak dan 649 jiwa di antaranya mengungsi,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Senin.
Mirisnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut melaporkan kerugian material sebanyak 4.035 unit rumah terdampak dengan 11 unit diantaranya rusak berat, 13 kantor pemerintah rusak sedang, 10 kantor pemerintah rusak ringan, dua unit fasilitas pendidikan rusak sedang dan tiga unit fasilitas pendidikan rusak ringan. Selain itu, tercatat sedikitnya 17.077 hektare kolam ikan milik warga terdampak (Antaranews.com, 18/07/2022).
Bahkan, banjir Garut ternyata tidak hanya terjadi kali ini, tetapi kejadian telah berulang.Jauh sebelum banjir dan longsor menerjang Kota Garut pada Jumat (15/07/2022) malam, banjir bandang juga pernah menimpa Garut pada 20 September 2016. Banjir Garut September 2016, disebabkan oleh meluapnya Sungai Cimanuk. Banjir bandang ini merendam tujuh kecamatan dan puluhan orang meninggal karenanya (Kompas.com, 21/07//2022).
Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum menilai, banjir yang terjadi di Garut tidak hanya akibat curah hujan yang tinggi. Lebih dari itu, banjir karena adanya pembabatan dan alih fungsi lahan di kawasan hulu sungai. (Merdeka.com 17/072022)
Senada dengan pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, Ketua Badan Pembina Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (BPFK3I) dan Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Dedi Kurniawan, juga mengatakan banjir bandang yang terjadi dari luapan Sungai Cimanuk tersebar di 32 desa dan kelurahan. Ada indikasi permasalahan terutama di hulu.
Masalah tersebut akibat alih fungsi lahan terutama di kawasan Perhutani dan PT Perkebunan Nusantara menjadi perkebunan sayuran, PT Argo Jabar sekitar 2.000 hektare dimanfaatkan lahan peternakan, serta pertambahan di kawasan berada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar, dan proyek strategis nasional seperti geotermal terbangun di atas di daerah resapan air,” katanya (MediaIndonesia.com, Minggu 17/7/2022)
Belum lagi penambangan baru di Gunung Papandayan yang merupakan daerah hulu Sungai Cimanuk, misalnya, malah mendapatkan izin. Namun herannya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya meminta warga yang selama ini tinggal di sempadan sungai untuk segera pindah. Mereka diminta untuk pindah ke tempat yang lebih aman agar kemudian tidak kembali menjadi korban saat banjir luapan air sungai.
Sekalipun mendapat kompensasi dana kerohiman (santunan, ed.) Rp50 juta, tetapi tidaklah sebanding dengan kerugian yang sudah hilang. Apakah nominal sekian mampu mengganti rumah beserta isinya yang hanyut? Belum lagi bicara kerugian non material, seperti penyakit yang menimpa pengungsi akibat minimnya fasilitas pengungsian.
Menohok, kejadian yang berulang menunjukkan jauhnya langkah serius dari pemerintah. Wajar saja banjir terus terjadi karena akar permasalahannya tidak kunjung diselesaikan. Sebelumnya, perlu dipertanyakan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang seringkali terlihat tidak tegas pada korporasi yang berkepentingan di area tersebut. Walaupun telah ada regulasinya, tetapi dengan berbagai alasan, izin selalu saja diberikan kepada mereka. Kemudian mereka tutup mata terhadap dampak negatif yang lebih jauh akibatnya dari aktivitas yang katanya pembangunan.
Bencana alam terjadi menuntut manusia menyadari ke-Mahakuasaan Allah, mengevaluasi perilaku individu, dan sistem tata kelola terhadap alam yang sarat kepentingan kapitalis. Kita menunggu bencana ekologis seperti apa lagi sehingga kita sadar pengelolaan alam akan ramah lingkungan? Tidak ada jalan lain dalam penyelesaian bencana ekologis kecuali dengan sistem kehidupan yang berbasis Islam.
Bencana ekologis bisa diselesaikan jika kebijakan pemerintah independen dan pembangunannya fokus pada kemaslahatan manusia dan seluruh alam. Penyelesaian ini hanya kita temukan dalam tata kelola kehidupan di dalam Islam kaffah. Yakni setiap perbaikan yang dilakukan di atas bumi agar layak bagi kehidupan manusia, dan rahmat bagi seluruh alam seperti konstruksi, perlengkapan umum, jalan-jalan, pertanian, industri, dan lain sebagainya.
Islam telah memberikan aturan yang berkaitan dengan penjagaan terhadap lingkungan, di antaranya tidak boleh melakukan kerusakan terhadap segala sesuatu sesudah ada perbaikan. Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 56:
“Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya.”
Islam melarang penebangan pohon secara sia-sia. Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa saja yang memotong pohon bidara yang ada di atas tanah lapang yang sering digunakan sebagai tempat bernaung bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) ataupun binatang-binatang secara sia-sia dan penuh kezaliman tanpa alasan yang benar, maka Allah akan menaruh api neraka di atas kepalanya.” (HR. Bukhari)
Maka dari itu, agar bencana ekologis bisa terselesaikan dan malapetaka yang menimpa umat berakhir, wajib bagi negeri ini mencampakkan sistem kapitalisme. Kemudian menerapkan syariat Islam secara kaffah (sempurna).