Oleh: Mesi Awaliyah
Ipteng—Dalam menjalani aktivitas sehari-hari tentunya kita tidak lepas dari kesalahan dan dosa karena memang begitulah fitrahnya manusia. Tidak ada manusia yang lepas dari dosa, kecuali Rasulullah saw.
Namun, itu bukan berarti kita pun boleh nikmat dan berleha-leha dalam dosa tersebut. Akan tetapi, kita harus berupaya dengan semaksimal mungkin menjauhi kemaksiatan tersebut dengan cara taat kepada hukum syarak.
Islam adalah agama yang sempurna. Islam telah mengatur seluruh aturan kehidupan dari bangun tidur hingga tidur lagi. Dari urusan individu hingga urusan negara, seluruhnya di atur oleh Islam. Tinggal bagaimana kita taat kepada perintah dan larangan Allah tersebut.
Namun, dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa setan adalah musuh nyata bagi manusia. Setan akan senantiasa berusaha menggoda manusia, hingga menjadikan manusia terasa nikmat dalam melakukan maksiat. Ya, itulah misi utama setan. Bagi manusia yang tidak membekali diri dengan iman dan takwa, ia akan sangat mudah terjerumus dalam lubang kemaksiatan.
Ketika kita melakukan maksiat, kemudian kita menyadari bahwa telah berlaku maksiat, lalu menyesalinya dan segera bertobat, memohon ampun kepada Rabb, maka sungguh itu adalah nikmat yang luar biasa. Lagi pula, memang begitulah yang harusnya dilakukan.
Menjadi permasalahan bila melakukan maksiat, tetapi tidak menyadari kemaksiatan itu, menikmatinya. Terlebih lagi menghina orang-orang yang melakukan ketaatan hanya karena menganggapnya bertentangan dengan kebiasaan masyarakat umum. Na’uzubillah. Inilah yang perlu dikhawatirkan.
Ada dua kemungkinan penyebab hal itu terjadi. Pertama, bisa jadi karena dia belum mengetahui bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum syarak.
Kerana itu, Islam mewajibkan setiap muslim dan muslimah untuk menuntut ilmu. Islam memerintahkan adanya ilmu sebelum beramal.
Kedua, bisa jadi sudah mengetahui perbuatannya itu maksiat, tetapi tetap mengabaikan kebenaran karena gengsi menyatakannya bersalah, gengsi bertaubat, atau sudah terlanjur nyaman dengan kehidupan yang ada dan mengabaikan kehidupan akhirat. Nauzubillah.
Jika ini terus-menerus dibiarkan, berbahaya karena hati akan menjadi keras, akan tertutup cahaya keimanan. Akhirnya, akan menjadi manusia yang punya telinga tapi tidak mendengar, punya hati tapi tidak perasa, punya mata tapi tidak melihat.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengindari maksiat, minimal ketika melakukan maksiat akan segera mengingat dan kembali ke jalan yang sesuai hukum syarak. Di antaranya:
Pertama, menuntut ilmu Islam. Menuntut ilmu adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan, sesibuk apa pun. Bagaimana mungkin kita bisa melakukan kebaikan atau bisa mengetahui perbuatan baik/buruk jika tidak ada ilmunya?
Kedua, menjadikan hukum syarak sebagai standar dalam berbuat. Seorang muslim/muslimah yang cerdas akan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan perbuatan. Ia akan bertanya terlebih dahulu, apakah perbuatanya sesuai hukum syarak atau tidak, juga bagaimana hukumnya di dalam Islam. Ketika sudah jelas, barulah ia akan bertindak melakukannya atau meninggalkannya.
Ketiga, mengaitkan kehidupan dunia dan akhirat. Terkadang, banyak di antara kita sudah mengetahui tentang kebaikan suatu perbuatan dan keburukan dari perbuatan lainnya, tetapi sering kali karena ujian dunia, kebiasaan, lingkungan, teman, ataupun arus globalisasi kita tetap berada dalam maksiat tersebut.
Misalnya, tetap pacaran, padahal sebenarnya sudah tahu hukum pacaran haram. Dengan terlanjur sayang, sulit melupakan kerap jadi alasan merasa, “Enggak apa-apa, deh, maksiat sedikit. Nanti janji mau segera nikah dan bertobat.”
Pertanyaannya, apakah kita tahu sampai kapan batas usia kita? Andai kematian itu tiba, tetapi kita masih tetap dalam maksiat, belum bertobat, apakah kita sanggup menahan panasnya bara api neraka? Menahan panasnya matahari berjam-jam saja kita tidak kuat, bagaimana dengan api neraka yang panasnya akan membuat tubuh mendidih dari ujung kaki menembus hingga ubun-ubun? Na’uzubillah.
Keempat, tanamkan habits (kebiasaan) yang baik untuk selalu dzikrullah (mengingat Allah). Kita mesti selalu mengingat Allah dalam setiap aktivitas, meyakini ada Allah yang mengawasi setiap perbuatan dan semua yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawaban masing-masing.
Di samping itu, menghiasi lisan dengan zikir, tasbih, tahmid, dan bacaan Al-Qur’an akan melembutkan hati. Dengan senantiasa mengingat Allah, menanamkan ketakwaan dalam diri, mudah-mudahan Allah senantiasa menjaga agar terhindar dari lubang maksiat.