Oleh: Diana Indah Permatasari
Linimasanews.com—Aparat penegak hukum merupakan elemen penting dalam proses penegakan hukum. Namun kini, aparat penegak hukum di Indonesia telah menurun kualitasnya akibat terlibat dalam berbagai macam kasus pidana, terutama kasus korupsi.
Dikutip dari situs bbc.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang hakim yustisial sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung melalui proses Operasi Tangkap Tangan (OTT). EW langsung ditahan lembaga antirasuah itu pada hari Senin (19/12) . Dalam kasus ini, KPK menduga terdapat uang suap senilai Rp2 miliar dalam bentuk mata uang asing untuk memengaruhi keputusan kepailitan sebuah koperasi.
Mantan hakim agung, Profesor Gayus Lumbuun menggambarkan kasus ini sebagai “Indonesia darurat peradaban hukum.” Menurutnya, tim promosi dan mutasi (TPM) semestinya punya pedoman baku untuk meloloskan hakim yustisial atau hakim yang berperan sebagai ketua pengadilan tinggi atau negeri di suatu wilayah. Sebab, kata Beliau, selama ini TPM “tidak cukup ketat” dalam proses penyeleksiannya.
Atas kejadian ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menilai KPK harus memperbaiki kinerjanya untuk tidak melakukan upaya penindakan OTT dan berupaya toleran. Baginya, digitalisasi life lebih baik daripada tindakan OTT, sebab tindakan OTT tersebut dinilai akan merusak citra negara Indonesia.
Peneliti PUKAT UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman beropini terhadap pernyataan Luhut tersebut, bahwa Operasi OTT terhadap koruptor adalah kewajiban penegak hukum jika ada tindak pidana. Penegak hukum sejatinya harus menegakkan hukum untuk mewujudkan keadilan (Sumber: tirto.id).
Dari fakta-fakta di atas, dapat terlihat betapa kalangan aparat lembaga peradilan pun tak luput dari korupsi dan terbongkar bagaimana parahnya sistem hukum di Indonesia. Pernyataan Luhut pun tidak dapat mencerminkan adanya keadilan, bahkan dapat memberi peluang pembelaan terhadap koruptor. Adanya kesempatan, sistem dan mentalitas yang rapuh, hingga penegakkan hukum yang lemah merupakan faktor utama masalah dalam korupsi.
Digitalisasi memang dapat mencegah adanya praktik korupsi. Namun, apabila terdapat kasus korupsi, maka OTT jelas harus dilaksanakan. Sebab, itu adalah bagian dari tindakan nyata. Menurut Zaenur, pencegahan dan penindakan itu harus satu tarikan napas yang tidak bisa dipisahkan, termasuk penindakan semata pun tanpa pencegahan itu juga tidak akan efektif.
Citra negara Indonesia sebenarnya rusak karena tidak terwujudnya keadilan itu sendiri. Rendahnya moralitas memicu berkurangnya profesionalisme sebagai penegak hukum. Maka dari itu, untuk membenahi sistem hukum di Indonesia, diperlukan perubahan pola pikir dan sikap dari seluruh komponen yang terlibat dalam hukum.
Pola pikir yang islami mampu memberikan keadilan yang hakiki dalam hukum. Menurut syariat Islam, korupsi adalah perilaku suap menyuap dan ini merupakan pernyataan yang sangat tercela. Dalam HR Ahmad 1997: 21365, Islam mengharamkan umatnya menempuh jalan suap secara tegas, baik kepada penyuap, penerima
suap, maupun perantaranya. Sebab, Islam sangat memperhatikan keselamatan harta seseorang serta mengantisipasinya supaya tidak berpindah tangan secara tidak sah.
Seorang hakim atau pejabat
yang mengambil harta suapan untuk
melakukan kebatilan, berarti ia telah
berbuat kedurhakaan karena beberapa alasan; pertama, karena ia telah
mengambil harta itu untuk sarana
melakukan kebatilan. Kedua, karena
ia telah menjatuhkan hukuman secara tidak sah dan tidak benar, dan itu
secara qath’i diharamkan. Dalam kitab Al-Qur’an, Allah berfirman;
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(QS Al-Anfal: 27)
Menegakkan keadilan adalah amanat bagi aparatur negara. Jika amanatnya saja dilanggar, patut dipertanyakan bagaimana pertanggungjawaban pada dirinya sendiri dan juga pada masyarakat. Dalam Islam, korupsi jelas merupakan perbuatan fasad, yakni merusak tatanan kehidupan, mengancam jiwa dan harta banyak orang, hingga menyebabkan kedzaliman dalam masyarakat. Pelakunya pun harus mendapatkan hukuman berupa ta’zir setimpal yang bentuknya ditetapkan oleh hakim untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Islam memiliki sistem hukum yang kuat karena berpegang teguh pada hukum Allah. Secara umum, hukum Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat, kemaslahatan dunia akhirat, serta petunjuk yang benar bagi umat manusia.
Sebagai kaum Muslim, kita harus yakin akan hukum Allah dan berusaha menjadikan akidah Islam sebagai landasan berpikir dan bertingkah laku. Tiada yang dapat menandingi kuasa Allah dan apabila segala sesuatunya berpegang teguh pada aturan Allah, maka ia akan mendapat rahmat yang membawa pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bish-shawab.