Oleh: Dini Azra
Linimasanews.com—Sejak tahun lalu, pemerintah zkota Malang telah menunjukkan keseriusan dalam mewujudkan Kota Malang sebagai destinasi wisata halal. Berbagai event-event pariwisata dengan konsep halal diselenggarakan. Termasuk mengurus semua jasa sertifikasi halal dari BPOM dan MUI terkait jasa industri dan restoran.
Pihak Pemkot juga menggandeng perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta serta Halal Center sebagai pendamping. Menurut Walikota Malang Sutiaji, konsep wisata halal ini bertujuan untuk memfasilitasi wisatawan agar mudah menemukan tempat-tempat halal di Malang. Karena itu, ia berkomitmen menjadikannya sebagai salah satu prioritas di kota Malang (Malang Times, 28/2/2021).
Melanjutkan komitmen terkait wisata halal di Kota Malang, Sutiaji kini ingin menjadikan Malang sebagai Halal City. Hal ini diungkap terbuka dalam pelantikan Majelis Daerah Korps Alumni HMI (MD KAMI) di Hotel Regent. Dengan dukungan KAHMI yang berlatarbelakang religius, Halal City akan segera terwujud.
Namun, Halal City yang dicanangkan Walkot Sutiaji ini mendapat tanggapan keras dari tokoh Nasionalis Kebangsaan kelahiran Malang, Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid yang beberapa hari ini berada di Malang.
Melalui wawancara via telepon, Habib Syakur yang juga inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK) ini menganggap itu sebagai bentuk arogansi Walkot Sutiaji yang harus dipertanyakan, bila perlu kinerja walkot dan jajarannya selama ini harus diaudit oleh Mendagri Tito Karnavian. Menurutnya, pelabelan Halal City hanyalah slogan berbalut agama yang tidak jelas arahnya dan bisa diintepretasikan macam-macam.
Dia khawatir jika nantinya akan ditarik ke Perda Syariah. Jangan sampai hal ini merusak keutuhan Kota Malang sendiri dan dimanfaatkan kelompok radikal, Khilafah atas pelabelan tersebut. Dia berharap Kota Malang menjadi kota yang moderat dan maju, sebagai bagian dari bangsa yang majemuk dan plural (JATIM POSKOTA.id, 8/2/2022).
Upaya dan keinginan Pemkot untuk menjadikan Kota Malang sebagai Halal City seharusnya tidak disikapi dengan antipati dan ketakutan yang berlebihan. Sekarang ini konsep wisata halal sedang berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Tujuannya antara lain untuk membangkitkan pariwisata yang sempat lesu sejak negeri ini dilanda pandemi.
Selain itu, konsep wisata halal juga menyasar wisatawan lokal yang mayoritas beragama Islam. Dimana mereka membutuhkan jaminan keamanan dan kenyamanan terkait kehalalan kuliner maupun layanan hotel.
Kendati demikian, Pemkot Malang tidak mungkin menafikkan keberadaan warga yang beragama selain Islam. Pastinya tempat-tempat kuliner, resto yang diperuntukkan bagi non-Muslim akan tetap dijaga. Hanya saja, nantinya tempat yang dilabeli halal akan ditandai dengan sertifikasi halal dari MUI. Bukan berarti tempat-tempat itu eksklusif untuk ummat Islam saja, semua kalangan bisa menikmatinya. Labelisasi halal bukanlah bentuk arogansi, melainkan fasilitas yang memang dibutuhkan ummat Islam.
Tidak ada yang harus merasa tercederai dengan istilah ini, selama fasilitas untuk agama lain tidak ada yang dihilangkan. Jika ummat beragama selain Islam tidak perlu khawatir dengan slogan halal city, apalagi dengan ummat Islam sendiri. Namun, tidak mengherankan jika ada saja tokoh atau kelompok ummat Islam yang justru menentang pelabelan ini. Sebab, gerakan moderasi beragama sedang digalakkan di berbagai penjuru negeri.
Yang mana gerakan ini arus utamanya adalah toleransi dan keberagaman tanpa mengindahkan sekat-sekat akidah dan syariat yang harus dipegang teguh oleh umat Islam. Menormalisasi pluralisme agama yang pernah difatwakan sesat oleh MUI. Akibatnya, ummat Islam yang tetap berpegang pada prinsip dasar Islam dianggap arogan dan intoleran. Sebab, bagi pegiat moderasi tidak boleh ada yang menganggap agamanya yang paling benar. Maka dari itu, setiap hal yang berbau syari’at akan ditolak untuk diterapkan dalam kehidupan umum.
Dakwah menuju penerapan Islam Kaffah dianggap momok yang menakutkan karena dianggap sebagai biang kerusakan dan perpecahan. Namun, gerakan pluralisme agama yang mengandung unsur kesyirikan dan menyebabkan kerusakan akidah ummat Islam justru didukung dengan penuh semangat.
Seperti acara seribu sesajen dan dupa lintas agama yang diselenggarakan di Kota Malang beberapa waktu lalu. Sungguh ironis kondisi ummat Islam di negara berpenduduk Muslim terbesar dunia. Menerapkan aturan agama sendiri malah mendapatkan pertentangan dan intimidasi. Sehingga, agama hanya boleh dilaksanakan dalam ranah individu, bukan skala negara.
Ummat Islam harus sadar dengan kondisi yang terjadi saat ini. Kesadaran itu akan dimiliki oleh orang yang memiliki iman yang kuat serta pemahaman agama yang mendalam. Sehingga, ia dapat melihat segala sesuatu, benar dan salah kebijakan yang diambil oleh pemerintah berdasarkan pandangan Islam. Orang beriman akan menyandarkan kebenaran mutlak hanya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Karena itu, kebijakan yang sesuai dengan syariat dan membawa manfaat bagi agama Islam tentu akan didukung penuh. Sedangkan kebijakan yang membawa keburukan bagi Islam harus ditolak dan berusaha menyampaikan nasihat kepada pemimpin.
Semoga dengan wacana menjadikan Malang sebagai Halal City bisa memberikan kontribusi untuk kemajuan ekonomi dan pariwisata Kota Malang dan sekitarnya. Semoga bukan sekadar label atau slogan semata, tapi benar-benar menjadikan Kota Malang yang peduli akan nilai-nilai Islam.
Sehingga, pada penerapannya nanti bisa sesuai dengan slogan yang disematkan. Nilai-nilai Islam tidak akan mencederai toleransi dan keberagaman. Sebab, Islam sangat menghargai adanya perbedaan dan tidak boleh memaksakan keyakinan kepada orang lain. Namun sebaliknya, tidak ada yang boleh memaksakan keyakinan dan pemahaman dari luar Islam agar diikuti oleh kaum Muslim. Wallahu a’lam bishawab