Oleh: Suaibatul Aslamiah
(Muslimah Aktivis Dakwah)
Linimasanews.com- Aksi kerusuhan pecah di Swedia pada Jum’at (28/8) malam waktu setempat. Para pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah polisi dan membakar ban. Seperti dilansir Detik news, Sabtu (29/8/2020), ungkap AFP, sekitar 300 orang turun ke jalanan wilayah Malmo, Swedia, dengan aksi kekerasan yang meningkat seiring berlalunya malam, menurut polisi dan media lokal.
Insiden ini terjadi beberapa jam setelah seorang politikus asal Denmark, Rasmus Paludan, yang dikenal anti-Islam dilarang untuk menghadiri aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia. Paludan melakukan perjalanan ke Malmo untuk berbicara dalam aksi anti-Islam itu, tetapi pihak berwenang mencegah kedatangannya dan mengumumkan bahwa dia telah dilarang memasuki Swedia selama dua tahun. Dia kemudian ditangkap di dekat Malmo. Poludan yang merupakan ketua partai sayap kanan Denmark, Stram Kurs (Garis Keras), sudah sering melakukan aksi serupa sebelumnya.
Aksi kerusuhan yang sama juga terjadi di Ibukota Norwegia, Oslo, pada Sabtu (29/8) antara kelompok Stop Islamisasi Norwegia (SIAN) dengan pihak yang kontra. Unjuk rasa anti-Islam yang berlangsung di dekat gedung parlemen Norwegia itu, yang dimotori oleh SIAN, berakhir rusuh saat seorang anggotanya merobek halaman Al-Qur’an dan meludahinya. Kelompok yang kontra membalas dengan melemparkan telur kepada anggota SIAN dan mencoba melompati barikade polisi. Sedikitnya ada 30 orang yang ditangkap polisi Norwegia saat kejadian tersebut (VIVA.co.id 30/8/2020).
Islamophobia atau ketakutan berlebihan terhadap Islam yang diderita Eropa sudah pada taraf mengkhawatirkan. Tindakan rasisme anti-Islam di Eropa telah berlangsung lama dan sudah banyak memakan korban. Sejumlah aksi provokasi yang dilakukan oleh orang atau kelompok anti-Islam bertujuan agar orang-orang melakukan hal yang sama yaitu membenci Islam dan mengusir pemeluknya dari negara mereka.
Ada beberapa alasan mengapa Islamophobia berkembang di Eropa. Pertama, Islam dan budayanya dianggap ancaman yang akan mempengaruhi dan menguasai modernitas yang mereka jalani. Banyak nilai-nilai yang dianut oleh imigran muslim tak sejalan dengan gaya hidup orang-orang Eropa yang terbiasa dengan gaya hidup bebas.
Kedua, imigran muslim yang telah lama tinggal di Eropa dan generasi ke tiganya kini sudah bisa bersaing dengan penduduk asli bangsa Eropa. Generasi ke tiga ini sudah banyak yang berpendidikan dan mendapatkan pekerjaan di tempat yang bagus dan bergengsi. Inilah kekhawatiran yang dirasakan masyarakat Eropa terhadap umat Islam karena mereka harus bersaing dengan masyarakat muslim dalam dunia kerja.
Ketiga, kelompok ekstrimis kulit putih yang merasa sebagai ras superior merasa kehadiran imigran muslim berbahaya bagi ras mereka dan isu imigran ini dijadikan alasan untuk menekan pemerintah setempat agar memproteksi benua Eropa dari masuknya imigran asing khususnya imigran dari Timur Tengah dan Afrika yang kebanyakan dari imigran muslim. Kelompok ini juga menganggap semakin pesatnya pertumbuhan umat Islam di Eropa dikhawatirkan akan mengancam agama lain.
Keempat, bias media Barat yang banyak memberitakan hal negatif apa saja yang datang dari dunia Islam sehingga masyarakat Barat sangat terpengaruh dan menimbulkan persepsi yang salah tentang Islam. Islam digambarkan kejam, sadis, dan tak berperikemanusiaan.
Kebebasan berpendapat yang dianut Barat nyatanya tidak dibarengi dengan sikap toleransi. Ideologi kapitalisme sekuler demokrasi meniscayakan adanya jaminan bagi warganya dalam empat hal saja yaitu kebebasan beragama, kebebasan berperilaku, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berkepemilikan. Sikap toleransi terhadap orang lain tidak diatur dalam undang-undang mereka. Maka, wajar sebagai kaum minoritas, muslim di Barat menghadapi bahaya atas kebebasan pendapat yang dianut Barat. Pelecehan dan penghinaan terhadap agama lain dianggap sebagai ekspresi dari kebebasan berpendapat ini.
Berbeda dengan sistem kapitalisme-sekularisme, dalam sistem Islam negara sebagai insitusi wajib memberikan rasa aman pada warganya. Negara juga akan bertindak sebagai pelindung dari pelecehan dan penghinaan terhadap Islam. Maka dalam sejarah panjang peradaban Islam, negera lain tidak berani menghina dan melecehkan Islam karena negara Islam akan memerangi siapa saja yang melakukannya.
Al-Qalqasyandi dalam kitabnya, Ma’atsir al-Inafah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan Kota Amuriyah pada tanggal 17 Ramadhan 223 H adalah saat wanita mulia keturunan Fatimah r.a. ditawan oleh seorang raja Romawi. Wanita itu disiksa dan dinistakan hingga menjerit dan meminta pertolongan. Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang mendengar berita penawanan itu segera mengerahkan sekaligus memimpin sendiri puluhan ribu pasukan kaum muslim menuju kota Amuriyah. Lewat pertempuran sengit akhirnya kota Amuriyah bisa ditaklukkan.
Agama ini sungguh tak akan dapat terlindungi jika umat tak memiliki pelindung yang kuat. Dulu Khilafah Utsmaniyah sanggup menghentikan rencana pementasan drama karya Voltire yang akan menista kemuliaan Nabi Muhammad Saw. Saat itu Sultan Abdul Hamid II langsung mengultimatum Kerajaan Inggris yang tetap bersikeras mengizinkan pementasan drama murahan tersebut. Kerajaan Inggris ketakutan dan membatalkan pentas drama itu karena sultan akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam untuk mengobarkan jihad akbar.
Bagaimana dengan penguasa muslim saat ini? Seharusnya pemimpin muslim saat ini tidak sekadar mengutuk pembakaran dan perobekan Al-Qur’an, tetapi mengambil tindakan tegas untuk menghilangkan penghinaan dan pelecehan terhadap Islam. Pemimpin yang melindungi umat amat dibutuhkan.
Sabda Rasulullah Saw,
“Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim diperangi (oleh kaum kafir) di belakang dia dan dilindungi oleh dirinya” (HR.Muslim).
Wallahu a’lam bishowab.