Oleh. Tari Kartasasmita
Sebagai orang tua yang pernah mengalami masa-masa “jahiliyah” sebelum berhijrah, terkadang kami mengalami kesulitan dalam menerapkan parenting yang bersandarkan konsep Islam secara seutuhnya (kaffah).
Sehingga, sejak awal tumbuh kembang anak-anak, kami belum mengenal konsep parenting Islam. Dahulu, kami mengenalkan anak tentang nilai-nilai baik atau buruk, belum bersandarkan pada sudut pandang Islam. Sebelumnya, kami menganggap sesuatu itu baik, selama tidak merugikan, mengganggu atau mengusik orang lain. Demikian juga dengan nilai buruk. Sandarannya, jika itu merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Semua nilai-nilai itu semata berlandaskan material. Astaghfirullahaladziim. Miris jika mengingat hal itu.
Kesadaran parenting Islam memang belum lama kami dapatkan. Baru sekitar 3 tahun terakhir. Untuk itu, perlu perjuangan keras dalam membalik pola pikir anak-anak tentang cara memandang hidup. Yaitu, tentang dari mana mereka berasal, untuk apa diciptakan ke dunia, dan akan ke mana setelah selesai dengan urusan dunia ini.
Bagi anak pertama kami yang waktu itu sudah masuk usia baligh, tidak mudah untuk bisa menerima begitu saja pemahaman yang selama ini sama sekali baru baginya. Untuk anak kedua yang waktu itu belum baligh, Alhamdulillah, masih bisa diarahkan dengan banting stir memindahkan
lingkungan sekolah umum ke sekolah berbasis pondok. Alhamdulillah,atas izin Allah, segala sesuatu dipermudah prosesnya.
Bagaimanapun, orang tua, khususnya mama adalah contoh dan pembimbing utama bagi anak. Karena, secara kuantitas dan fitrahnya, seorang mama lebih banyak berinteraksi langsung dengan anak, baik mengenai hal-hal kecil maupun besar. Anak akan lebih terbuka dan mau bercerita kepada mamanya daripada ke papanya.
Di era segala aktivitas melibatkan sarana digital seperti saat ini, seorang mama memiliki tuntutan lebih banyak. Seorang mama mesti hadir dalam perawatan dan pengasuhan di masa anak belum mandiri. Setelah akalnya mulai berkembang, anak sudah bisa mengenal dan melihat banyak fakta. Dalam masa ini, seorang mama harus bisa terus menyelaraskan diri dengan perkembangan tersebut agar bisa tetap “nyambung” dan berkomunikasi dengan anak-anak.
Kita ketahui, lingkungan menjadi salah satu faktor penting pada perkembangan anak. Baik lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, tempat bermain dan sekolah. Termasuk juga, lingkungan tempat anak-anak kita sering browsing saat membuka gadget.
Bagi mama yang masih memiliki anak dalam masa perawatan penuh, yaitu di usia belum baligh, tentu masih bisa mengendalikan anak untuk tidak memegang gadget. Berbeda dengan anak yang sudah fasih dan terbiasa memfungsikan gadgetnya, baik di usia baligh, bahkan yang sudah usia lepas sekolah menengah.
Di sini seorang mama justru dituntut harus bisa masuk ke dalam “dunia” digital mereka. Dalam hal ini, medsos yang paling memungkinkan anak-anak bisa melihat langsung aktivitas kita sebagai mama.
Menurut pengamatan saya sebagai seorang mama, meskipun anak berperilaku seolah tidak peduli karena secara pandangan mata mungkin tidak lepas dari gadget, namun sebenarnya telinganya tetap siap mendengar pernyataan atau diskusi apa pun yang terjadi di sekitar jangkauan pendengaran mereka.
Maka, inilah peluang mama memperdengarkan dengan sengaja video atau rekaman yang berisi materi-materi aqidah, dengan pemateri yang
berbeda supaya bervariasi dan memunculkan persepsi di benak anak bahwa ustaz siapa pun, akan menyampaikan hal yang intinya sama jika bicara tentang aqidah.
Bisa juga diperdengarkan potongan video yang isinya penekanan atas tanggapan terhadap satu fakta yang sedang terjadi. Hal itu membiasakan anak agar mendengar cara menyikapi sesuatu berdasar sudut pandang Islam.
Alhamdulillah, dengan cara ini, sedikit demi sedikit pemahaman Islam anak pertama kami bertambah, sampai pada titik bersedia mengikuti kajian intensif tiap pekan.
Penanaman aqidah adalah faktor utama yang wajib dilakukan orang tua terhadap anaknya. Salah satu hadits yang menguatkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syua’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan sholat apabila mereka telah berusia tujuh tahun, dan apabila mereka telah berusia 10 tahun, maka pukullah mereka (apabila tetap tidak mau melaksanakan sholat) dan pisahkan tempat tidur mereka.”
Dalam masalah pendidikan, Islam
meletakkan pendidikan aqidah di atas segala-galanya. Itulah yang Allah tekankan dengan menggambarkan betapa getolnya Nabi Ya’kub dalam masalah ini. Sampai-sampai, ketika anak-anaknya dewasa, pertanyaan beliau adalah masalah aqidah.
Terkait hal tersebut Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 133,
yang artinya, “Adakah kamu hadir ketika
Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”.
Mengenai ayat di atas, Ibn Katsir
menjelaskan bahwa kewajiban orang tua adalah memberi wasiat kepada anak-anaknya untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT semata. Hal ini memberikan petunjuk penting bahwa kewajiban utama orang tua terhadap anak-anaknya adalah tertanamnya aqidah dalam sanubarinya (jurnal.uui.ac.id, Mendidik Anak Ala Rasulullah (Propethic Parenting), K. Kamisah, 2019).
Menginjak remaja, tentu banyak problematika yang akan dihadapi anak.
Apalagi di zaman seperti sekarang ini, saat segala sesuatu menstandarkan berbasis material dan kapital. Anak-anak dengan sangat mudah mendapatkan tontonan maupun informasi yang bersifat hiburan, yang dasar dibuatnya tontonan tersebut karena demi mendapatkan respons acungan jempol ataupun pengakuan diri merasa hebat karena memiliki peminat yang banyak.
Terlebih, dunia digital sangat memfasilitasi. Mereka membuat sistem aplikasi yang menjadikan uang sangat mudah didapatkan dari hasil mendapat apresiasi penonton. Anak-anak seperti diaruskan ke hal yang segala sesuatunya mendewakan materi.
Akibatnya, banyak materi atau konten video yang sembarangan saja dibuat, asal menarik minat orang untuk menontonnya. Maka, anak-anak sangat rentan melahap
tontonan yang sebenarnya tidak bermakna, apalagi membawa manfaat secara ruhiyah membangun aqidah.
Untuk itu, seorang mama yang berusaha menerapkan parenting Islam di “tengah jalan” usia perkembangan anak menjadi remaja atau dewasa mungkin tidak mudah., Namun, mama tak boleh putus semangat dan harapan. Kita harus tetap berikhtiar dan tidak putus berdoa agar anak-anak selalu berada di jalur yang sesuai syariat.
Supaya dapat lebih diterima anak secara pemikiran, akan lebih sesuai jika mama memosisikan diri sebagai kawan diskusi. Meski menghadapi anak secara santai, namun mama mesti tegas pada hal yang terkait aqidah. Inilah Parenting Santuy ala Mama.