Oleh: Fina Fatimah
(Anggota Kesatria Aksara Bandung)
Linimasanews.com—Seorang perempuan muda dikabarkan meninggal dunia dan diduga melakukan bunuh diri karena tidak lolos PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Selain itu, keputusannya juga didorong oleh perilaku sang pacar yang kasar dan manipulatif (Suara.com, 13/07/2022).
Miris. Peristiwa di atas hanyalah satu di antara banyaknya kasus para pemuda yang terkesan bermental rapuh dan cenderung mengambil solusi ‘instan’ dalam menghadapi permasalahan. Lebih menyesakkan lagi, bahwa kasus-kasus tersebut kian menjalar di kalangan pemuda Muslim yang seharusnya menjadi tonggak peradaban dan agen perubahan yang akan mengubah dunia menjadi lebih baik.
Hal tersebut terjadi karena kini minimnya kepercayaan diri dalam jiwa pemuda Muslim akan Islam itu sendiri. Banyak pemuda yang tidak bangga dengan identitasnya sebagai Muslim, ditambah dengan narasi-narasi islamofobia yang semakin menciutkan mental Muslim hari ini. Melihat bagaimana fenomena yang viral belakangan ini, yakni Citayam Fashion Week, dimana para pemuda yang mungkin mayoritas Muslim, lebih bangga dengan outfit yang dianggap nyentrik dan modis, berlenggak-lenggok di khalayak umum, dan tak sedikit yang menyampingkan pendidikan demi meraih popularitas. Hal itu merupakan bentuk teguran bagi kita selaku umat Islam.
Kebanggaan terhadap Islam adalah salah satu fondasi dasar yang mampu menjadikan seorang Muslim menjadi pribadi yang tangguh, kuat, dan tidak baperan. Seorang Muslim sejatinya harus mengetahui pesan yang Islam bawa adalah untuk mengubah sesuatu yang awalnya remeh-temeh menjadi sesuatu yang besar, mengubah apa yang tidak bermanfaat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dunia.
Coba kita perhatikan bangsa Arab sebelum tersentuh Islam, dulunya mereka adalah para penggembala kambing, aktivitasnya banyak mereka habiskan untuk saling berperang antarkabilah, berjudi, mabuk-mabukan, berzina, dan segala sesuatu yang rendahan lainnya. Namun setelah rasulullah mendakwahkan Islam, mulai dari kerabat dan sahabatnya, hingga meluas ke setiap penjuru negeri, perhatikanlah bahwa Islam memberi pengaruh besar dalam kehidupan.
Islam mampu menjadikan seorang Bilal bin Rabbah yang dahulu merupakan budak yang sering dihina tuannya, menjadi seorang muadzin yang suara terompahnya terdengar di surga. Wahsyi yang dahulu membunuh Hamzah, paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, saat Islam menyentuh hati dan jiwanya, akhirnya ia berhasil menebus kesalahannya dengan membunuh sang nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab. Lalu, setelah Rasulullah wafat pun, cahaya Islam terus menerangi hati kaum Muslim. Hingga kita ketahui kisahnya Muhammad Al-Fatih, di usia mudanya, Islam telah tertanam dalam hati dan jiwanya.
Sehingga, tidak ia habiskan masa mudanya melainkan untuk mencapai sebuah visi besar, yakni menaklukan konstantinopel. Dimana Rasulullah mengabarkan bahwa sebaik-baik pemimpin dan pasukan adalah yang mampu menaklukkan Konstantinopel. Tak berhenti di situ, setelah Konstantinopel ditaklukkan oleh Islam. Hal tersebut juga memberi pengaruh besar terhadap Konstantinopel itu sendiri. Islam mendatangkan kedamaian dan menghapus kedzaliman-kedzaliman sebelumnya.
Pertanyaannya, ketika kita sudah mengetahui dan menyadari bahwa Islam sejatinya membawa pesan untuk memberi perubahan pada kehidupan, menjadikan sesuatu yang buruk menjadi baik. Lantas mengapa pemuda Muslim yang digadang-gadang sebagai agent of change justru tidak terlalu memberi perubahan kepada dunia hari ini?
Jawabannya karena sekarang ini banyak sekali pekerjaan-pekerjaan atau masalah-masalah yang belum terpecahkan ketika menjadi seorang muslim sehingga pesan Islam untuk membawa perubahan tidak mampu terealisasikan. Banyak para pemuda masih kebingungan dengan jati diri dan mereka kesulitan menyelesaikan berbagai persoalan dengan dirinya sendiri. Sehingga, Islam sulit untuk bergerak secara dinamis dan indah untuk mengubah kita menjadi Muslim yang luar biasa.
Hambatan yang pertama, persoalan asmara. Ketika seorang Muslim tidak tahu bagaimana cara menghadapi salah satu naluri dalam dirinya, yakni naluri melestarikan jenis, maka dia akan terlibat terus-menerus dengan masalah perasaannya dan tidak memiliki waktu untuk berpikir tentang perkara-perkara lainnya, karena ia habiskan waktunya untuk berpusat pada satu titik saja, yakni perasaan. Ketika seorang Muslim terlibat dalam masalah ini dan dia tidak menyelesaikannya dengan batasan dan ketentuan yang telah Allah tetapkan, maka perasaan tersebut bak air bah yang siap menghantam dan merusak apa yang ada di sekitarnya.
Apabila seorang Muslim telah siap menikah, ambillah peran tersebut dengan sebaik mungkin dan tetap jadikan pernikahan itu untuk meraih visi mulia. Jika pun seorang Muslim dirasa belum siap untuk ke jenjang pernikahan, maka jangan sekali-kali mengambil jalan menuju arena yang dia akan kewalahan di dalamnya, yakni janganlah mendekati pada hal yang mampu mengantarkan kepada zina.
Hambatan berikutnya adalah bagaimana seorang Muslim dalam memandang kehidupan. Pemuda selalu dipenuhi oleh idealisme. Sayangnya, di sistem kapitalis ini, idealisme yang mendominasi para pemuda adalah gemerlapnya dunia. Untuk menjadi seorang Muslim yang tangguh, sejatinya yang harus kita minta kepada Allah adalah rezeki dibanding dunia. Dunia hanyalah sebatas angka deret, sedangkan rezeki jauh tak terduga. Cakupan rezeki jauh dibandingkan dengan cakupan dunia. Rezeki mendatangkan ketenangan, sedangkan kepuasan dunia hanyalah mendatangkan kesempitan dada semata.
Tak jarang kita jumpai, mereka yang berkutat dengan kepuasan dunia, sehari-harinya dihabiskan untuk meraih dunia. Di balik itu semua adalah perasaan depresi yang menyesakkan dada. Perasaan yang tak pernah puas karena terus-menerus memenuhi keinginan hawa nafsu semata. Pantaslah hari ini pemuda lebih senang berseliweran di jalanan dibanding ikut kajian.
Semua, ujung-ujungnya bermuara kepada satu sistem yang sedikit-demi sedikit menggerus jiwa para pemuda, khususnya kaum Muslim yang menjadi pribadi-pribadi lemah, rapuh, baperan, dan tak mampu berpikir untuk kemaslahatan umat di seluruh dunia. Sistem kapitalisme berasaskan sekularisme yang memisahkan umat Islam dari Islam itu sendiri. Semua yang menjauhkan kaum Muslim dari Islam difasilitasi penuh oleh sistem ini. Lihatlah tayangan-tayangan di televisi dan berbagai platform lainnya, dipenuhi dengan hal-hal yang membuat pemuda malas untuk memikirkan persoalan umat. Pemuda terus berkutat di urusan diri yang entah sampai kapan tuntasnya. Belum lagi narasi-narasi yang membuat kaum Muslim enggan untuk ber-Islam secara keseluruhan.
Namun, siapakah yang mampu melawan semua itu? Siapa yang mampu mengembalikan kepercayaan diri para pemuda terhadap Islam sehingga menjadi Muslim yang tangguh anti rapuh? Tak ada yang lain, melainkan kaum Muslim itu sendiri yang harus bersatu dalam sebuah naungan dimana aturan Islam ditegakkan secara menyeluruh, yakni dalam bingkai Khilafah Islamiyah sebagaimana dahulu telah tercetak dalam sejarah. Islam pernah bersatu dalam satu kepemimpinan dan satu sistem, yakni sistem Islam yang mampu memberi perubahan yang luar biasa terhadap dunia ini.
Wallahu a’lam bisshawaab.