Oleh: Ummul Asminingrum, S.Pd. (Aktivis Muslimah)
Kalau menyebut diri ini sebagai seorang penulis rasanya masih jauh dari kata layak. Apalagi bergelar sebagai penulis. Masih jauh. Sebab, katanya, seseorang disebut penulis apabila ia sudah punya buku solo. Sedangkan, antologi saja, saya baru punya satu.
Namun, tidak perlu berkecil hati, sih. Sebab, ada bilangan 10, 20, 30, bahkan ratusan, pasti dimulai dari satu, kan ? Mungkin sekarang baru cetak satu buku antologi, semoga Allah izinkan menjadi 10, 20, 30 bahkan ratusan. Aamiin. Melalui goresan ini juga sebagai upaya menuju bilangan tersebut.
Bila pada cerita sebelumnya saya menceritakan awal mula menulis untuk cari materi, Alhamdulillah, kini Allah beri kesempatan untuk memperbaiki niat. Meskipun menulis untuk mencari materi tidak salah juga, ya. Apalagi, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Menulis untuk berdakwah dan jadi profesi. MasyaaAllah, luar biasa keren. Dan saya belum bisa seperti itu. Apalah daya hatiku yang masih lemah ini, begitu mudah berbelok pada dunia. Astagfirullah hal’adzim.
Bagi saya, saat ini bisa menyuarakan Islam lewat tulisan adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Sebab, cara ini begitu sederhana dan mudah. Tinggal kita mau menggerakkan jemari untuk merangkai kata, atau menyedekahkannya di dada. Selama ini, saya menulis dengan alat yang sederhana, cukup pakai handphone saja. Alhamdulillah, menulis bagiku sudah tidak sesulit dulu. Mungkin diiringi dengan pengetahuan yang bertambah juga, meskipun baru sedikit.
Penting sekali bagi penulis untuk terus membekali diri dengan ilmu. Baik berupa teori kepenulisan, maupun motivasi kepenulisan. Di sini saya akan berbagi sedikit tentang motivasi saya untuk tetap istiqamah menulis. Memang, sih, yang utama saya rutin menulis paling tidak sepekan sekali karena sebuah kewajiban dari tim. Tetapi, lama-lama juga akan terbentuk kesadaran bahwa menulis itu salah satu upaya menyebarkan Islam. Bukan hanya untuk memenuhi target laporan.
Untuk sebuah kebaikan, memang awalnya harus dipaksa, kemudian terbiasa dan akhirnya suka rela. Kini dengan menulis menjadikan hidupku lebih hidup. Dengan menulis, saya mempunyai target. Dengan menulis, saya juga rajin membaca, melihat dan meneliti. Meneliti apa? Ya, apa saja yang bisa diteliti dengan panca indera kita.
Dengan menulis, saya tetap bisa menjaga semangat. Di kala lelah dengan pekerjaan, entah sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pendidik, kita juga bisa menuangkan segala uneg-uneg dan perasaan yang tak bisa tersampaikan secara lisan dengan tulisan. Mengapa disebut menjadikan hidupku lebih hidup? Sebab, di kala sakit atau hidup kurang bergairah, kita bisa tuangkan lewat rangkaian aksara.
Seperti saat ini. Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan satu lagi calon buah hati kepada kami. Saat ini saya tengah hamil anak kedua. Baru masuk trisemester pertama. Saat ini saya sedang teler-telernya. Mau makan susah, bau apa pun, sedikit saja, mual. Badan saya lemes, kepala pusing dan seabrek rasa orang hamil muda. Begitulah.
Mau melaksanakan pekerjaan sehari-hari rasanya berat sekali. Paling enak rebahan di tempat tidur. Apalagi mau mengajar dan menghadapi tingkah polah anak-anak yang sulit diatur dan bikin kepala tambah pusing? Tapi, adanya amanah untuk menulis, serasa hidup saya kembali bergairah lagi. Dengan mengingat bahwa ada amanah yang belum terlaksana, akhirnya waktu untuk malas-malasan dan rebahan terpaksa digunakan untuk baca atau cari referensi.
Meskipun dengan posisi bersandar pada bantal ataupun terpaksa tiduran, jari terap bekerja merangkai aksara. Sungguh luar biasa. Dengan menulis, saya bisa bertahan. Dengan menulis, saya bisa tahan untuk begadang dan melawan rasa tak enak di badan.
Ada sebuah motivasi yang selalu terngiang-ngiang di telinga bahwa Tentang terbentuknya negara Yahudi Israel dikarenakan sebuah tulisan. Maka, ketika kita ingin negara Islam kembali berdiri, sebarkan tulisan tentangnya. Hal itulah yang menjadikan saya tetap semangat menulis dan benar-benar menulis menjadikan hidupku lebih hidup. Wallahu a’lam bishshawab.