Suara Pembaca
Menteri Keuangan Sri Mulyani buka suara mengenai pengenaan pajak tahunan yang sebesar 5% atas pajak penghasilan karyawan alias PPh Pasal 21. Seperti diketahui, lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah mengubah lapisan penghasilan kena pajak (PKP) per tahun, dari sebelumnya empat lapisan, kini menjadi lima lapisan. “Untuk gaji Rp5 juta (per bulan) tidak ada perubahan aturan pajak,” tulis Sri Mulyani dalam akun instagramnya @smindrawati, dikutip Selasa (3/1/2023).
Dengan demikian, berikut simulasi perhitungan pemotongan pajak 5% terhadap masyarakat dengan gaji Rp 5 juta per bulan yakni: Pajak Penghasilan per tahun = Penghasilan Kena Pajak (PKP) – PTKP x 5%. Adapun besaran PTKP sebesar Rp 54 juta per tahun. Sehingga perhitungannya menjadi: Rp60 juta – Rp54 juta = Rp 6 juta x 5% = Rp300.000. Sehingga, besaran pajak setahun dengan gaji Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun adalah Rp 300.000, sama dengan membayar pajak Rp25.000 per bulan.
Dalam UU HPP besaran PTKP tidak berubah yaitu bagi orang pribadi lajang sebesar Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 Juta per tahun. Tambahan sebesar Rp4,5 juta diberikan untuk Wajib Pajak yang sudah menikah dan masih ditambah Rp4,5 juta untuk setiap tanggungan maksimal 3 orang.
“Kalau anda jomlo, tidak punya tanggungan siapa pun, gaji Rp5 juta – pajak dibayar adalah sebesar Rp300.000 per tahun atau Rp25.000 per bulan. Artinya pajaknya 0,5% bukan 5%.
“Kalau anda sudah punya istri dan tanggungan satu anak. Gaji Rp5 juta per bulan tidak kena pajak,” ujar Sri Mulyani lagi.
Dengan demikian diambil kesimpulan bahwa masyarakat yang berpenghasilan kecil dilindungi, sedangkan yang berpenghasilan tinggi dituntut kontribusi yang lebih tinggi. Kalimat “dilindungi” di atas sungguh menggelitik. Pasalnya, pemalakan justru terasa berat bagi berpenghasilan kecil, karena pendapatan mereka sering pas-pasan bahkan kurang. Penguasa memang sering menggunakan kata-kata yang lembut seolah olah baik dan berpihak kepada rakyat. Namun nyatanya, rakyat kecil selalu jadi korban dan dibohongi.
Apakah ini dinamakan keadilan?
Beban rakyat makin besar, pajak terus ditambah. Sungguh prihatin melihat kekayaan alam Indonesia saat ini. Negeri ini berlimpah sumber daya alam, tetapi tidak dapat menjamin kemakmuran penduduknya. Pasalnya, sumber daya alam sebagian besar masih dikuasai swasta dan asing. Pajak merupakan salah satu devisa negara.
Dalam sistem kapitalis sekular, pajak diartikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Penolakan untuk membayar pajak, penghindaran atau perlawanan terhadap pajak pada umumnya termasuk pelanggaran undang-undang yang akan dikenakan sanksi tegas. Faktanya, rakyat banyak hidup susah di bawah garis kemiskinan, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja masih kesusahan, negara malah memalak pajak dengan dalih untuk kepentingan rakyat. Jelas sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem yang zalim.
Semua itu adalah akibat dari pemberlakuan sistem dan aturan yang bercorak neoliberal yang mana kebijakan serta tindakan yang dijalankan oleh pemerintahan yang mengenyampingkan syariat Allah.
Apakah pajak ada dalam sistem Islam? Tentu saja ada, tetapi tata cara pelaksanaannya sangat berbeda dengan sistem kapitalis yang ada pada saat ini. Dalam kondisi tertentu, negara boleh memungut pajak. Apabila sumber tetap pemasukan Baitulmal tidak mencukupi negara, pajak dipungut dari kaum Muslim sesuai dengan ketentuan syara’ untuk menutupi pengeluaran Baitulmal dengan syarat pungutan berasal dari kelebihan kebutuhan pokok. Pajak dipungut dari orang-orang kaya saja.
Karena itu, tepatlah ungkapan para ulama saat menjelaskan pentingnya agama berdampingan dengan kekuasaan, “Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (Abu Abdillah Al- Qal’i,Tadrib Ar-Riyasah wa Tartib As-Siyasah,1/81).
Hanya Islam satu-satunya sistem yang shahih. Islam hadir sebagai wujud kasih sayang Allah subhanahu wa Ta’ala kepada makhluk-Nya. Karena itu, marilah kita kembali bersama-sama menerapkan Islam sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan kita. Di sinilah, pentingnya umat Islam menegakkan sistem pemerintahan Islam agar terwujud kehidupan yang adil dan sejahtera dan pengelolaan yang baik dan benar.
Vita Sari
(Ibu Peduli Generasi)