Oleh: Firda Umayah
Cerpen—Rasyid memegang erat sebuah piala berukuran sedang. Tanpa ia sadari, tetesan air mengalir dari sudut matanya, membasahi paras tampan dengan lesung di salah satu pipinya.
Rasyid mengatur nafasnya. Sembari berdzikir memohon ampun kepada rabbnya, Allah SWT. Di dalam dzikir ia mengatakan dengan lirih, “Ayah, aku rindu padamu.”
Kumandang adzan Ashar terdengar dari masjid pondok pesantren tempat Rasyid menimba ilmu. Masjid besar dengan lima kubah kecil dan dua menara yang menjulang. Masjid yang selalu ramai dengan aktivitas ibadah di dalamnya.
Rasyid bergegas menuju masjid. Tak lupa ia masukkan piala emas ke dalam tasnya. Ia turun dari asrama lantai dua pondoknya, lantas berwudhu bersama ratusan santri lainnya.
Setelah shalat berjamaah, Rasyid mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman ketika ia murojaah hafalannya. Ia telah menghafal 30 juz Al-Qur’an. Namun ia harus berusaha untuk menjaga hafalannya.
Di tengah-tengah Rasyid sedang murojaah, seseorang memanggil namanya.
“Muhammad Rasyid Izzudin!”
Seorang teman memanggil namanya. Ia dipanggil lantaran ibunya telah menjemputnya pulang. Ya, hari ini adalah hari penjemputan santri pondok pesantren Al Karim Kota Angin untuk liburan akhir semester.
“Rasyid, ayo, cepatlah!” sahut laki-laki yang lebih muda dari ibunya. Rupanya, itu adalah Pak Ahmad, adik laki-laki ibunya Rasyid.
Hari itu Rasyid dijemput ibu, kakak, dan adik perempuannya. Rasyid segera menghampiri keluarganya. Ia tak sabar untuk pulang ke rumahnya. Meskipun rumah Rasyid masih satu kota dengan pondoknya, namun jaraknya cukup jauh, yaitu sekitar 30 km.
Di dalam mobil saat perjalanan pulang, Rasyid sesekali bercanda bersama kakak dan adiknya. Namun, di tengah perjalanan, Ibu bertanya kepada Rasyid.
“Rasyid rindu ayah? Kita mampir tengok ayah dulu, ya,” kata ibu.
Rasyid pun mengangguk. Ia tak sabar ingin bertemu ayahnya. Kakaknya Shofiyah, lantas memegang tangan Rasyid seraya berkata, “Rasyid pasti bisa kayak ayah. Bahkan, bisa jauh lebih baik. Semangat terus, ya!”
Rombongan mobil sampai ke tempat tujuan. Rasyid membawa piala hadiah juara 3 lomba karya tulis ilmiah populer tingkat provinsi yang baru ia peroleh. Ia menghampiri tempat ayahnya berada. Ia berlutut sembari berkata, “Ayah, Rasyid akan berusaha menjadi seperti yang Ayah impikan.”
Rasyid melihat batu nisan yang ada di depannya. Muhammad Ali Izzuddin. Begitulah tertulis di batu nisan tersebut. Itulah nama ayah Rasyid. Sosok ulama sekaligus pejuang agama Allah yang terkenal di Kota Angin
Ayah Rasyid meninggal saat pandemi Covid-19 sedang mengganas. Saat itu, Rasyid masih berada di pondok yang menerapkan karantina lokal. Meski sudah ditolong dengan plasma konvalesen, nyawa ayah Rasyid tak tertolong.
Rasyid lalu melanjutkan perjalanan pulang bersama keluarganya. Sepanjang perjalanan, ia melihat banyak wanita yang tidak menutup aurat. Padahal, mayoritas penduduk di kotanya beragama Islam. Tak hanya itu, Rasyid juga melihat beberapa pasangan remaja seperti dirinya duduk berduaan di pinggir taman kota.
Ia juga melihat beberapa gerombolan remaja laki-laki dan perempuan campur baur dalam canda gurau. Ia melihat anak-anak kecil yang menjadi pengemis lantaran tidak mampu membiayai kebutuhan hidup. Ia melihat banyak peristiwa yang menyesakkan dada.
Rasyid menyadari, inilah dampak dari sebuah peraturan hidup di dalam negara yang tidak menerapkan syariat Islam. Akibatnya, terjadi kerusakan di dalam sistem kehidupan. Baik dalam sistem pergaulan, ekonomi dan lainnya. Hatinya gerah. Ada rasa di dalam dirinya. Ia ingin mengubah itu semua.
Sesampainya di rumah, ia merapikan kamar yang lama tidak ia tempati. Inilah hari pertama ia berada di rumah setelah dua tahun lamanya ia tidak pulang. Dua tahun rupanya waktu yang cukup singkat untuk merubah kondisi masyarakat yang tampak lebih parah dari sebelumnya.
Pada malam hari setelah Rasyid tiba di rumah, ia lebih memilih berada di kamarnya. Ia merenung memikirkan apa yang ia harus lakukan kini tanpa sang ayah. Ia juga memikirkan bagaimana ia mewujudkan upayanya untuk mengubah kondisi masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Ia lalu membuka album foto miliknya. Tampak dalam album sosok Ayah yang sering mengajaknya berdakwah, juga mengunjungi kolega. Ia teringat bahwa ayahnya adalah orang yang istiqamah dalam menyampaikan dakwah Islam.
Cukup lama Rasyid termenung untuk berpikir. Ia lalu memutuskan dan bertekad untuk melanjutkan dakwah ayahnya ketika ia lulus Pondok Aliyah nanti. Ia tuliskan tekadnya pada buku saku yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.
Rasyid memandang Kota Angin dari balkon kamarnya. Kelap-kelip lampu berbagai bangunan bagaikan kunang-kunang malam yang berhamburan. Kota Angin merupakan kota dengan masyarakat yang ramah. Seharusnya kota ini dapat menerima dakwah Islam dengan baik, begitu pikirnya.
Namun, karena sistem yang diterapkan negaranya adalah sistem sekularisme, masih banyak ditemui Muslim yang tidak taat kepada Pencipta. Karena itulah, Rasyid juga bertekad ingin menjadi pejuang Islam ideologis bersama jamaah dakwah seperti ayahnya dahulu.
Yaitu, sebuah jamaah yang selalu menyerukan Islam di mana pun mereka berada. Itulah jamaah yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya, memenuhi sebuah seruan yang tertuang dalam al-Qur’an suraa Ali Imron ayat 104.