Oleh: Dhevy Hakim
“Cara dakwah kita itu hanya ada dua. Kalau nggak ngomong, ya nulis. Kalau nggak nulis, ya ngomong. Jangan tidak dua-duanya.”
(Ustadz Ismail Yusanto)
Pesan dakwah tersebut sungguh luar biasa. Secara pribadi, cukup menggugah kesadaranku untuk mengambil langkah dalam dakwah lewat tulisan. Apalagi kondisi pandemi covid-19 menjadikan dakwah terjun langsung di tengah-tengah ummat menjadi terhenti. Saat itu (tahun 2020) penyebaran virus corona semakin merajalela, bahkan tidak pernah terpikir jika virus itu sampai di pelosok kampung, tempat perantauan saat itu. Kebijakan PSBB saat itu disusul PPKM membuat aktivitas di rumah saja.
Di sinilah, kreativitas dan kesungguhan para pejuang Islam diuji. Apakah pasrah atau tetap istiqomah menunaikan kewajiban berdakwah. Saat itu pula, mengubah kebiasaan masyarakat secara keseluruhan, yakni lebih banyak beraktivitas di dunia maya. Mau tidak mau, perubahan kondisi ini membuat para pengemban dakwah mengambil wasilah dakwah dengan memanfaatkan sosial media.
Adanya sosial media menjadikan arus informasi sangat cepat tersebar. Terkadang banyak hoax bertebaran. Mirisnya, sering menjadi alat mengumbar kebencian pada Islam ataupun menggiring opini tertentu oleh kalangan buzzerrp.
Polah tingkah para buzzer inilah yang menggelitik saya untuk memaksa mengayunkan tangan, mengetik satu kata menjadi kalimat. Awalnya, kegundahan, rasa sedih, rasa marah hanya bisa saya tuangkan lewat bait-bait puisi. Kadang kala kuungkapkan dalam status Facebook.
Kedzaliman yang nyata di tahun 2020 menurut saya adalah kengototan mengesahkan RUU Omnibus Law. Bagaimana tidak? Sebegitu banyak akademisi menolak, sebegitu besar penolakan rakyat, tapi seolah oleh para buzzer terus dinarasikan begitu indahnya. Parahnya, saat RUU tersebut menjadi UU ‘Tik Tok’ dengan segala drama jumlah dan ukuran kertas. Anehnya, lagi-lagi para buzzer menarasikan sedemikian rupa. Saat itu membuat jiwa ‘aktivis’ saya meronta-ronta. Dalam hati ini, “Aku nggak mau kalah sama buzzer itu!”
Keresahan yang paling mendalam, saat Islam terus menerus dihadapkan dengan narasi teroris, ekstremis, dan radikal. Para buzzer terus melenggang meski pernyataan demi pernyataan mereka sudah masuk narasi penodaan agama. Hati ini rasanya teriris, “Ya Allah dengan hujjah apa hamba harus berkata jika hamba hanya diam seribu bahasa?”
Dari sinilah, opini demi opini mulai kutulis, kemudian dikirim ke media online. Satu minggu satu tulisan. Alhamdulillah bisa kutunaikan walaupun terkadang molor dari target yang sudah dicanangkan. Menjadi penulis opini memang tidaklah gampang. Banyak bekal yang harus dipersiapkan, seperti kerangka tulisan dari mulai lead, fakta, analisa maupun kesimpulan. Terkadang memilih judul menarik menjadi tantangan. Memburu berita harus dipaksakan, bagiku yang saat itu sambil mengurus anak yang masih 6 bulan. Setiap meja kusiapkan kertas kecil dan pensil, sebagai upaya kecilku jika sewaktu-waktu muncul ide di benakku.
Bagi seorang ibu dengan kewajiban utamanya mengasuh anak-anak dan mengatur rumah, menjadi penulis opini bukanlah hal mudah. Namun, juga bukan tidak mampu. Hal paling sulit adalah memulai. Itu yang kurasakan. Saat tulisan bisa tayang, menjadi motivasi diri sekaligus bukti sebenarnya seorang ibu pun bisa menulis.
Oh, iya, sebagaimana anjuran untuk berkumpul dengan orang-orang yang shalih, begitupun dengan aktivitas menulis. Mood booster yang luar biasa adalah berteman dengan sesama penulis ideologis. Meski, tidak pernah bersua, menjadi penyemangat yang luar biasa untuk ikut tergerak menulis saat melihat tulisan teman-teman tayang di media.
So, ayuk buat ibu-ibu janganlah kalah dengan para buzzerrp itu. Insyaallah, dengan keyakinan dan kesungguhan untuk menulis, Allah memberikan kemudahan di sana. Rapatkan barisan, jika tidak kita yang menjaga agama ini, lantas siapa?
Wallahu a’lam.