Oleh. Fathimah A.S. (Aktivis Dakwah Kampus)
Linimasanews.com—Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil secara blak-blakan mengkritik pembangunan light rail transit (LRT) Palembang. Dia menyebutnya sebagai proyek gagal karena salah dalam perencanaan. Dia juga sangat menyayangkan sepinya penumpang. Menurutnya, saat itu sebenarnya ia sudah mengkritik pembangunan proyek senilai Rp9 triliun tersebut karena belum dibutuhkan masyarakat setempat. Namun, kritiknya kalah dengan opini politik untuk kepentingan Asian Games 2018 (bisnisindonesia.id, 22/10/2022).
Ini bukan pertama kalinya kesalahan perencanaan dalam proyek pembangunan. Proyek Strategis Nasional (PSN) Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang sedang dalam proses pembangunan juga sedang mengalami kendala. Sudah enam tahun semenjak proyek ini direncanakan pada 2016 dan ditargetkan selesai pada 2019, tetapi ternyata hingga 2022 belum terselesaikan.
Sampai saat ini, proyek KCJB ini masih berjalan, tetapi tertatih-tatih akibat cost overrun (pembengkakan biaya) yang terus meningkat dan munculnya permasalahan konstruksi. Per Januari 2022, proyek ini sudah mencapai 80%, dan direncanakan beroperasi pada pertengahan 2023 (news.detik.com, 11/04/2022).
Meski banyak kendala dan biaya, namun proyek ini nampaknya akan tetap dipertahankan. Sebab, KCJB ini disebut mampu meningkatkan dan memeratakan pertumbuhan ekonomi di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta, serta meningkatkan pemasukan negara (setkab.go.id, 10/09/2022).
Pembangunan Infrastruktur secara Masif, untuk Siapa?
Bisa dibilang, pemerintah memang kerap melakukan pembangunan infrastuktur. Mulai dari pembangunan jalan tol, bandara, hingga kereta cepat. Akan tetapi, sebenarnya, untuk siapakah infrastruktur itu? Benarkah untuk kemaslahatan rakyat? Atau justru membebani rakyat?
Pada proyek KCJB saja, sebelumnya pemerintah mengeklaim tidak akan memakai APBN. Akan tetapi, ketika terjadi pembengkakan biaya (cost overrun), akhirnya pemerintah pun menyuntikkan dana APBN. Dengan kata lain, dana APBN seharusnya dapat digunakan untuk membangun lapangan pekerjaan, industri, atau pertanian yang lebih bermanfaat untuk rakyat, tetapi faktanya pemerintah lebih memilih untuk menyalurkannya kepada proyek yang dinilai lebih mendatangkan manfaat secara ekonomi. Pertanyaannya, benarkah rakyat benar-benar dapat merasakan manfaat?
Sayangnya, tidak. Kereta cepat yang terbangun bukanlah untuk rakyat secara umum. Sebab, rakyat tak dapat menikmati infrastruktur transportasi itu dengan mudah dan murah. Rakyat harus mengeluarkan biaya tinggi untuk dapat menikmati fasilitas elite itu.
Menurut Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Dwiyana Slamet Riyadi, berdasarkan hasil studi, tarif KCJB nantinya akan sebesar Rp150.000 untuk rute terdekat dan rute terjauh sebesar Rp350.000 (kompas.com, 17/10/2022). Dari sini bisa diketahui, hanya mereka yang kaya atau para kapitalislah yang mampu menikmati infrastruktur ini.
Ini masih dari segi alokasi APBN yang beraroma kapitalistik dan tingginya tarif transportasi. Belum lagi bila bicara tentang beban utang negeri ini. Pembiayaan proyek KCJB ini ditengarai berasal dari patungan antara Indonesia dan China, serta pinjaman dari China. Pinjaman atau utang pasti menuntut untuk dikembalikan, disertai bunganya. Lagi-lagi, rakyatlah yang terkena imbasnya. Pajak akan makin tinggi. Bahkan, pada banyak kasus, aset strategis negara tergadaikan karena tak mampu membayar utang. Dengan kata lain, utang adalah salah satu strategi untuk menguasai negara lain.
Paradigma Khas Kapitalisme
Demikianlah sistem kapitalisme dalam mengelola negeri. Segalanya dihitung dari sudut pandang keuntungan materi. Kemaslahatan rakyat menjadi nomor sekian, atau bahkan sama sekali tidak diprioritaskan. Negara yang seharusnya melayani rakyat, justru berpihak pada kaum kapitalis korporat.
Maka, tidak heran, dalam sistem kapitalisme, pembangunan infrastruktur tidak berorientasi pada kebutuhan rakyat umum, tetapi berpihak pada keinginan pemilik modal. Infrastruktur yang menguntungkan secara ekonomi akan selalu dibangun. Sementara, infrastruktur yang dinilai tidak menguntungkan, meski itu adalah kebutuhan mendesak bagi rakyat, akan serta-merta diabaikan.
Dalam sistem kapitalisme, infrastruktur boleh dikuasai oleh swasta/kapitalis. Sehingga, mindset dalam penyediaan infrastruktur bukanlah untuk pelayanan, tetapi untuk berbisnis. Segala sesuatu akan selalu dinilai dengan harga, termasuk dalam infrastruktur transportasi. Siapa yang mampu membayar dengan harga tinggi, ia akan mendapatkan pelayanan terbaik.
Paradigma Islam Mengelola Infrastruktur Transportasi
Berbeda jauh dengan paradigma Islam dalam mengelola negeri. Kepemimpinan dalam Islam bukanlah untuk mencari keuntungan materi, tetapi untuk menjalankan amanah sebaik-baiknya sebagai pelayan umat.
Sebab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Imam (kepala negara) adalah penggembala (penanggung jawab) dan dia akan dimintai tanggung jawab atas penggembalaannya (kepemimpinannya) itu.” (HR Muslim)
Keberadaan negara yang menerapkan Islam secara kaffah (Khilafah) akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat, termasuk dalam pembangunan infrastruktur transportasi. Khilafah tidak akan menyerahkan infrastruktur kepada swasta. Khilafah akan melakukan beberapa upaya berikut:
Pertama, perencanaan wilayah dilakukan dengan prinsip mengurangi kebutuhan transportasi. Sehingga, dalam setiap wilayah, akan tersedia sarana untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, untuk menuntut Ilmu, maupun bekerja. Masing-masing wilayah sudah tersedia masjid, sekolah, rumah sakit, area komersial, area pertanian, pemakaman umum, hingga tempat pengelolaan sampah. Dengan begitu, warga dapat mencapainya dengan jalan kaki dengan jarak yang wajar.
Kedua, sistem transportasi publik yang aman, nyaman, dan murah akan dibangun secara merata dan terintegrasi. Sehingga, bila warga ada kebutuhan untuk melintas ke wilayah lain, mereka tidak akan kesulitan mencari transportasi publik. Bahkan, selalu tersedia transportasi lanjutan di setiap wilayah. Dengan begitu, kendaraan pribadi yang menyebabkan macet dapat diminimalkan atau bahkan tidak dibutuhkan lagi.
Ketiga, teknologi mutakhir akan dikembangkan untuk memudahkan rakyat. Baik berupa teknologi alat transportasi, navigasi, telekomunikasi, hingga fisik jalan. Dengan begitu, pelayanan transportasi akan lebih mudah dan cepat.
Seluruh kebijakan ini dapat diterapkan karena Khilafah memiliki sistem pendanaan yang stabil dan kuat. Terdapat 3 sumber pemasukan negara, yaitu pos fai’ dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Dengan sumber pemasukan ini, insya Allah, negara dapat mengelola negara dan memenuhi kebutuhan rakyat tanpa utang dan pajak.
Masya Allah, Islam telah memiliki solusi atas problem infrastruktur. Sungguh, tidakkah kita rindu pada sistem yang menggiring kita pada ketaatan tersebut? Mari kita mulai mengkaji Islam secara kaffah, kemudian mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat.