Suara Pembaca
Pemerintah mengumumkan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan dihapus lewat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Pemerintah pun menilai keputusan ini merupakan kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi (28/11).
Tak dimungkiri, adanya pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE memang memicu konflik di tengah masyarakat. Ketika terdapat salah satu pihak merasa namanya tercemar, maka akan melaporkan pihak lain sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik. Biasanya pihak terlapor pun juga tak merasa mencemarkan nama baik pihak lain dengan dalih beragam, misalnya atas nama kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi dan sebagainya sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Masyarakat pun pastinya merasa was-was ketika menyampaikan pendapat atau aspirasi atau koreksi terhadap sosok tertentu yang dianggap layak dikritisi. Padahal, bisa jadi yang dikritisi tersebut memang benar-benar perlu dan sebagai wujud kepedulian terhadap sosok tersebut. Sayangnya, adanya UU ITE bisa menyeret si pengkritik tersebut jika ada pihak yang melaporkan. Sehingga, UU ITE layaknya pasal karet yang begitu mudah disalahgunakan pihak-pihak tertentu yang merasa kedudukannya di tengah masyarakat menjadi tidak aman.
Menyoal pemerintah yang mengumumkan penghapusan “pasal karet” pencemaran nama baik dan penghinaan di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memang layak diapresiasi. Semoga dengan dihapusnya pasal tersebut mampu mengurangi kegaduhan di masyarakat akibat adanya pihak-pihak yang saling lapor terkait pencemaran nama baik dan sebagainya.
Menyampaikan pendapat, aspirasi, atau koreksi dari individu kepada penguasa atau tokoh penting yang berpengaruh di masyarakat sebenarnya memang tak perlu diatur dengan undang-undang yang berpotensi disalahgunakan untuk menggebuk salah satu pihak yang tidak sejalan. Padahal dalam ajaran Islam, mengoreksi kebijakan penguasa atau menyampaikan pendapat terkait kebijakan penguasa yang dzalim termasuk wujud kepedulian rakyat terhadap penguasa dan negara. Bahkan ,dinilai sebagai jihad yang paling utama, yakni menyampaikan muhasabah kepada penguasa.
Nanik Farida Priatmaja