Linimasanews.com—Memahami realitas generasi saat ini, Praktisi Pendidikan Dwi Hendriyanti, S.Pd. menyayangkan pendidikan sekolah saat ini sulit bahkan tidak bisa mewujudkan anak yang taat.
“Selama saya mengajar 20 tahun, saya melihat, saya merasakan bahwa proses pendidikan di sekolah apakah mampu mewujudkan anak yang taat? Ini sesuatu yang sangat sulit. Atau bisa jadi ini sesuatu yang tidak mungkin,” tuturnya dalam Risalah Akhir Tahun 2022: Peduli Generasi Pemimpin Umat, Sabtu (31/12/2022) di Jakarta.
Dwi menyebut, hal itu menunjukkan bahwa proses pendidikan di sekolah telah gagal karena faktanya terjadi kerusakan generasi. Menurutnya, saat ini yang terwujud adalah generasi yang tidak lagi takut kepada Allah, jauh dari nilai-nilai norma agama.
Guru salah satu SMA di Tangerang, Banten itu prihatin dan resah sebab merasa hal itu sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai guru. Namun, ia merasa sekalipun guru berusaha agar anak tidak terjerumus dalam kerusakan, akan sulit karena akan terbentur kebijakan.
“Apakah kami tidak berusaha mengubah? Kami pun berusaha supaya anak-anak tidak terjerumus dalam hal yang merusak tadi. Tapi kami berusaha berulang kali dengan berbagai upaya, tapi fakta kerusakannya bertambah dan permasalahannya makin kompleks. Ini kan berarti apa yang kami lakukan itu belum menuai hasil,” sesal Dwi.
“Kalaupun kami ingin mengupayakan yang lebih lagi, ini tantangannya tidak mudah karena nanti akan berbenturan dengan regulasi kebijakan,” imbuhnya.
Salah satunya, menurut Dwi, regulasi terkait kurikulum. Menurut Dwi, kurikulum yang ada mengandung nilai-nilai sekuler. Akibatnya, membentuk generasi yang religius dan humanis sebatas klaim, sementara faktanya generasi justru jauh dari nilai-nilai ketuhanan.
“Dalam kurikulum ini ada nilai-nilai sekuler, misalnya dalam moderasi beragama. Kita lihat moderasi beragama ini diklaim mampu membentuk generasi yang cerdas, religius dan humanis. Tapi faktanya justru sebaliknya. Katanya cerdas, tapi tidak menggunakan agama untuk landasan berpikirnya. Katanya mampu membentuk generasi yang religius dan humanis, faktanya mereka justru jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Belum lagi nilai-nilai liberal yang diincludekan dalam pelajaran. Kita ambil contoh, kurikulum merdeka. Dari kata-katanya saja sudah jelas, ada unsur liberal,” terangnya.
Kurikulum yang berbasis sekuler itulah yang menurut Dwi menjadikan generasi rusak. Sebab, menurutnya, kurikulum yang sekuler memisahkan agama dari kehidupan, bisa berubah-ubah sesuai dengan keinginan pembuatnya dan menjadikan tuntutan dari kurikulum tidak lebih dari hal-hal yang bersifat materi.
“Kok bisa kurikulum ini menjadikan generasi rusak? Kita tahu bahwa kurikulum ini adalah ruh dari dan nyawanya performa individu generasi dan akan berpengaruh pada performa bangsa. Kita lihat, kurikulum saat ini yang sering berubah-ubah itu ternyata tidak mempunyai standar baku, berubah-ubah sesuai dengan keinginan yang membuat kurikulumnya. Basisnya pun sama, perubahan ini basisnya adalah sekuler, memisahkan agama dari kehidupan,” tegasnya.[]