Oleh: Sri Maulia Ningsih, S. Pd.
Linimasanews.com- Sebuah pulau kecil di wilayah perairan Pulau Buton, Sulawesi Tenggara viral di media sosial karena dijual di situs jual beli. Dalam sebuah situs iklan jual beli online OLX, Pulau Pendek ditawarkan dengan harga murah untuk objek wisata.
Tak pelak, warga sekitar yang sudah menempati pulau itu pun tak terima. Bagaimana tidak? Bukannya barang atau jasa, iklan tersebut menjual Pulau Pendek, sebuah pulau yang berada di kawasan Desa Boneatiro, Kecamatan Kapuntori, Buton.
Pulau Pendek seluas 242,07 hektare tersebut dijual dengan harga Rp 36.500 per meter persegi. Pulau Pendek secara administratif terletak di Desa Boenotiro Barat, Kapontori, Kabupaten Buton (tribunnewsmaker.com, 30/08/2020). Kepala Desa Boenotiro Barat, Ilyas menegaskan warganya tidak terima pulau mereka dijual. “Hampir seluruh anak cucu (nenek moyang), baik kami yang di wilayah Kecamatan Kapontori maupun perantauan mau pulang karena merasa kaget sekali (ada kabar Pulau Pendek dijual),” ujarnya.
Ilyas menegaskan, warga asli Pulau Pendek telah secara turun temurun bermukim di Pulau Pendek. “Ada kuburan nenek moyang kami di situ,” katanya. Warga akan mempertahankan hak mereka atas pulau tersebut. Warga juga sudah memiliki tradisi di Pulau Pendek, salah satunya setiap tahunnya berziarah ke makam nenek moyang mereka di pulau itu.
“Jadi kami juga ada sebuah bentuk ikatan atau kepercayaan, setiap orang yang datang dari perantauan selalu berziarah kalau pulang,” imbuhnya. Warga akan segera melaporkan ke polisi pihak yang telah menjual Pulau Pendek ke situs jual beli. “Rencananya (melapor) hari Senin kalau bukan ke polsek langsung ke polres,” tegasnya.
Namun, tidak jauh berbeda pernyataan Komisi II DPR RI selaku mitra pemerintah yang membawahi urusan dalam negeri meminta pihak kepolisian segera mengusut tuntas pihak-pihak yang secara vulgar menjual Pulau Pendek di perairan Buton, Sulawesi Tenggara. Penegasan itu disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR, Arwani Thomafi kepada wartawan, Senin (31/8). “Aparat kepolisian harus mengusut pihak-pihak yang mengiklankan penjualan pulau,” tegas Arwani Thomafi.
“Iklan penjualan pulau jelas-jelas melanggar peraturan perundang-undangan yakni UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU 27/2017 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” imbuhnya.
Arwani menguraikan, sebuah pulau memang bisa dimanfaatkan dan diatur oleh UU. Hanya saja, pemanfaatan pulau itu sendiri tetap harus melalui mekanisme yang berlaku, dalam hal ini peraturan dari pemerintah daerah (Pemda) hingga disetujui menteri.
Pulau-pulau diperbolehkan untuk dimanfaatkan sebagaimana diatur dalam UU 27/2017, yakni tentang tujuan pemanfaatan termasuk kewajiban memperhatikan pengelolaan lingkungan. “Dalam konteks tersebut, ada peran pemda dalam menerbitkan pemanfaatan tersebut melalui mekanisme Hak Pengusaha Perairan Pesisir (HP3) dan harus mendapat persetujuan oleh menteri,” jelasnya.
Atas dasar itu, Arwani menegaskan bahwa Pemda Sultra sudah seharusnya memberikan respons cepat atas kemunculan Pulau Pendek dalam sebuah situs jual beli. Pasalnya, peran pemda sangat besar dalam urusan pemanfaatan pulau tersebut.
“Pemda semestinya responsif terhadap iklan penjualan pulau yang terjadi di daerahnya. Selain melanggar aturan hukum, pemda memiliki kewenangan terkait dengan pemanfaatan pulau-pulau tersebut,” pungkasnya, (Cnnindonesia.com 31/08/2020).
Menilik kasus demi kasus yang terjadi di negeri ini, pengelolaan sumber daya alam maupun kepemilikannya yang terus menjadi permasalahan rupanya sarat akan kapitalisasi. Yakni kebebasan swasta beserta mudahnya swasta memiliki atau pun mengelola sumber daya alam negeri ini meski menuai berbagai kontra dari masyarakat. Tidak berlebihan jika masyarakat menilai bahwa sistem yang ada sekarang ini tidak mampu mengurusi persoalan tentang pengelolaan dan kepemilikan. Hal ini akan terus menjadi masalah ketika negara tidak berperan sebagai pengurus umat.
Sumber daya alam termasuk pulau-pulau di dalamnya akan menjadi rebutan swasta ketika negara hanya bertindak sebagai regulator, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis saat ini. Pulau Pendek hanyalah salah satu dari sekian banyaknya kasus tentang abainya pemerintah dalam menangani pengelolaan dan kepemilikan lahan, atau pun sumber daya alam yang sarat akan kapitalisasi.
Sebagai contoh, swasta dengan mudah menduduki lahan “basah” tambang-tambang negeri ini. Seperti tambang emas di Papua yang di pegang oleh Freepor. Di Sulawesi Tenggara, sumber daya alam umumnya dikuasai oleh swasta bahkan asing.
Bahkan, untuk perpanjangan kontrak saja swasta asing bebas memperpanjang masa kontraknya. Kedatangan WNA China meski di tengah pandemi beberapa bulan yang lalu tak sedikit menuai kontra. Begitu pula kasus penjualan Pulau Pendek ini. Meski banyak menuai keberatan dari pribumi, tetapi tetap saja pulau tersebut diiklankan dengan harga yang sangat murah.
Lain halnya dengan sistem Islam. Islam memiliki aturan yang jelas mengenai kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dalam Islam, negara tidak berhak memperjualbelikan harta kepemilikan umum karena itu diperuntukkan bagi rakyat. Negara hanya sebagai pengelola terhadap harta milik rakyat, tidak boleh menyerahkannya kepada swasta.
Adapun bagaimana Islam mengelola kepemilikan umum, maka konsep Islam dalam masalah kepemilikan ini menjadi sangat gamblang ketika Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menulis kitab, An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Syaikh Abdul Qadim Zallum kemudian memaparkannya secara lebih sistematis dalam kitabnya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah.
Dipaparkan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan secara jelas: kepemilikan individu (private property); kepemilikan publik (collective property); dan kepemilikan negara (state property).
Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim, sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim. Individu-individu diperbolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut.
Namun, terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik:
(1) Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik, dll.
(2) Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid, dll.
(3) Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, regulasinya diatur oleh negara. Kekayaan ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum muslim. Khalifah, selaku pemimpin negara, bisa berijtihad dalam rangka mendistribusikan harta tersebut kepada kaum muslim demi kemaslahatan Islam dan kaum muslim.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi penjualan pulau seperti yang terjadi saat ini. Jika ada sistem hidup separipurna ini, tidakkah kita berfikir untuk mengambilnya sebagai peraturan hidup? Allahua’lam bishawab.