Suara Pembaca
Menteri Keuangan resmi mengajukan kebijakan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sembako. Aturan ini terdapat dalam perubahan kelima pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Tak ayal, aturan ini menuai polemik di berbagai kalangan baik dari DPR, pedagang pasar, ekonom, tokoh agama, organisasi keagamaan, dan seluruh lapisan masyarakat. Mereka menilai rencana pengenaan PPN sembako akan berakibat naiknya harga bahan pokok.
Peneliti Institute For Development on Economics and Finance (INDEF) Riza A Purnama memaparkan, pemungutan PPN sembako akan mendorong kenaikan angka kemiskinan di tanah air. Sebab, penarikan PPN tersebut akan berakibat pada kenaikan harga barang, kemudian akan memengaruhi daya beli masyarakat. Sehingga, kondisi seperti ini tentu akan menggangu proses pemulihan ekonomi setelah hampir dua tahun diterjang virus covid-19 (14/9).
Kendati demikian, tidak lantas menyurutkan wacana pemerintah untuk mengenakan PPN sembako. Negara berdalih, pajak sembako hanya akan dikenakan pada bahan pokok premium bukan yang dijual di pasar tradisional, sehingga tidak akan berdampak pada masyarakat kecil. Padahal jika ditelisik, saat ada pungutan PPN meski hanya pada sebagian sembako, tentu akan mengerek harga pangan di pasar tradisional. Dengan kata lain, ada efek psikologi pada pedagang di pasar tradisional untuk menaikkan harga sembako lainnya. Dampak lainnya adalah terjadi inflasi dan berakibat beban hidup masyarakat kelas bawah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kian berat.
Tidak dimungkiri, negara dengan sistem ekonomi kapitalis seperti Indonesia akan mengandalkan utang untuk pemasukan negara. Kemudian negara menjadikan pajak sebagai sumber utama kas. Padahal, Indonesia negara kaya akan sumber daya alam, namun sayangnya SDA tersebut dikelola oleh swasta dengan liberalisasi ekonomi.
Sementara dalam Islam, sumber pemasukan negara berasal dari kepemilikan umum seperti perairan, hutan, padang rumput, sungai. Selain itu, dana bisa dari baitul mal pos zakat, fai, dan kharaj. Secara hukum syariat, pajak bisa diberlakukan apabila dalam keadaan mendesak, baik negara sedang krisis dan tidak ada dana, maupun dalam keadaan normal. Namun, kewajiban pembayaran pajak hanya diberlakukan terhadap warga negara yang kaya, itupun setelah dihitung dari kelebihan harta setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional sesuai standar hidup di wilayah tersebut.
Demikianlah kebijakan pajak dalam Islam, maka dari itu, seyogianya pemerintah mencontoh aturan tersebut. Bukankah pemerintah seharusnya mengeluarkan rakyatnya dari kesulitan, terlebih para pemimpin adalah orang-orang Islam yang seharusnya menjalankan amanah dengan baik sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam mengurus urusan rakyatnya.
Nurmilati
Kota Hujan