Rempang dan Tulang yang Digores Pedang

0
187

Oleh: Saptaningtyas

Linimasanews.com—Kehidupan yang tenang masyarakat agraris dan pesisir Pulau Rempang tengah hilang. Takut, cemas, dan suasana mencekam mendera lebih dari tujuh ribu jiwa pascatragedi bentrok warga Pulau Rempang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau dengan aparat pada 7 dan 11 September 2023. Mereka menanti jaminan atas hak hidup dan penghidupan. Mereka kini menanti tulang yang digores pedang sebagai harapan keadilan.

Ribuan warga yang terdiri dari masyarakat adat suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat itu menolak direlokasi oleh sebuah ambisi besar bernama Rempang Eco City (REC), mega proyek yang akan menyulap Pulau Rempang menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata.

Warga menolak bukan tanpa sebab. Pulau Rempang bukanlah sebuah lahan kosong tak bertuan. Ada 16 kampung tua atau permukiman warga asli yang telah bermukim turun-temurun sejak 1834. Bahkan, mengutip Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890) Ustaz Abdul Somad (UAS) dalam unggahan Instagramnya menyebut bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari prajurit Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 M di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Jika bicara jasa terhadap negeri, sejarah juga mencatat, para prajurit Kesultanan Riau Lingga itu berperan besar menghalau penjajah Belanda dalam Perang Riau I dan Perang Riau II. Karena itu, wajar warga yang kebanyakan petani dan nelayan itu menolak tanah leluhurnya dicaplok asing atas nama investasi.

Warga menegaskan, bukan menolak pembangunan, tetapi mereka tidak ingin direlokasi. Karena, meskipun pemerintah berjanji menyediakan lahan 500 meter persegi beserta rumah tipe 45, tetapi lokasinya belum jelas. Untuk sementara, mereka akan ditempatkan di rumah susun. Mereka menolak karena akan kehilangan matapencaharian. Terlebih lagi, kawasan Rempang harus sudah kosong pada 28 September 2023.

Rempang Milik Siapa?

Benarkah ribuan warga 16 kampung Melayu tidak memiliki hak dan harus meninggalkan tanah warisan leluhurnya di pulau seluas 16.583 hektare itu? Memang, mengatur kepemilikan semestinya disandarkan pada wahyu Sang Pemilik semesta dan kehidupan. Hanya dengan bersandar pada aturan Sang Pencipta, keadilan dan kedamaian akan terwujud. Jika tidak, kepentingan akan memainkan regulasi hingga kezaliman dan pertikaian tak bisa terelakkan.

Sesungguhnya, Allah Sang Pemilik semesta telah mengatur kepemilikan harta. Syariat Islam telah membagi kepemilikan dalam tiga kategori: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Menghidupkan tanah mati, memperoleh warisan, ataupun membeli adalah cara yang dilegalkan syarak bagi seorang individu untuk memiliki tanah.

Namun, pemerintah negeri ini telah mengabaikan syariat itu. Karenanya, ribuan warga yang menghuni Pulau Rempang dan sekitarnya seakan tak berhak atas tanah warisan leluhurnya.

Melansir tirto.id (13/9/2023), Pulau Batam, Pulau Rempang, Pulau Galang masuk wilayah kerja Otorita Batam berdasarkan Keppres Nomor 28 Tahun 1992. Pulau Rempang adalah milik Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Akan tetapi, menurut Menko Polhukam, Mahfud MD, Pulau Rempang adalah milik negara yang hak pengelolaannya telah diberikan kepada sebuah perusahaan.

Atas landasan itu, dengan mengabaikan hukum Allah tentang kepemilikan, pemerintah merasa berhak merelokasi paksa warga Rempang dengan dalih pengosongan lahan seiring pemberian hak guna usaha kepada perusahaan.

Pada Agustus 2004, Pulau Rempang dibuka investasi untuk dikembangkan dalam proyek Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE), tetapi sempat mandek karena dugaan korupsi. Belasan tahun kemudian, pemerintah memasukkan pengembangan Pulau Rempang dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 bernama Rempang Eco City dengan memberikan mandat kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) bekerja sama dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Menggandeng korporasi China, di Rempang Eco City itu akan dibangun pabrik kaca terbesar kedua China. Penandatanganan MoU industri kaca dan panel surya Pulau Rempang dilakukan PT MEG dengan Xinyi International di Chengdu, China, pada Jumat, 28 Juli 2023 yang disaksikan Presiden Jokowi (kumparan.com, 15/9/2023).

Tahap awal, perusahaan China sudah melakukan investasi sebesar Rp172 triliun untuk membangun industri kaca dan panel surya PLTS. Pemerintah pun merasa mesti bergerak cepat mengosongkan kawasan Rempang Eco City agar Xinyi Group yang investasinya diharapkan bisa mencapai Rp381 triliun hingga tahun 2080 mendatang itu tidak berpaling.

Karena itu, seakan tak peduli kedaulatan warga Rempang, meski harus mengingkari komitmen menjaga kearifan lokal, bahkan meski dengan risiko besar ancaman bencana ekologi, pemerintah bersikukuh melanjutkan proyek ambisiusnya membangun REC.

Bermodal legalitas Omnibus Law yang memudahkan jalan investasi, terlebih untuk PSN, pemerintah mengerahkan aparat beserta armadanya merelokasi warga dalam tempo yang singkat. Tampak nyata keberpihakan pemerintah kepada investor bermodal besar meminggirkan hak hidup rakyat. Dengan hak guna usaha yang diberikan pemerintah, asing dan swasta seakan telah menjadi pemilik Pulau Rempang, mencabut hak rakyat atas tanah warisan leluhurnya.

Begitulah pola pembangunan kapitalistik, mengutamakan kepentingan pemodal, terlebih oligarki dan kapitalis global. Realitas ini karena sistem kapitalis dilandasi sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan. Sekalipun rakyat pemilik sah yang berdaulat atas ruang hidup, bisa saja digusur oleh pemerintah untuk kepentingan investasi skala besar.

Memang benar, syariat Islam mengatur bahwa tambang yang jumlahnya berlimpah masuk kategori kepemilikan umum yang haram dimiliki individu. Akan tetapi, tambang ini juga bukan berarti masuk kepemilikan negara. Syarak menetapkan negara sebagai pengelola dan hasilnya dikembalikan lagi untuk kepentingan umum (rakyat). Haram bagi negara memberikan hak pengelolaan (semisal HGU) tambang tersebut kepada swasta lokal ataupun asing.

Karena itu, sekalipun ditemukan harta milik umum (tambang) di Pulau Rempang dan sekitarnya hingga pemerintah mesti merelokasi warga, tetapi tidak dibenarkan pemerintah berlaku zalim dengan bertindak represif dan menyerahkan HGU kepada kapitalis oligarki.

Goresan Pedang pada Tulang

Sangat disayangkan, alih-alih meredakan ketegangan dan berpihak kepada rakyat, menghilangkan rasa cemas dan takut yang dialami warga Rempang, pemerintah justru berencana menambah 4 kompi pasukan. Tak sedikit pun tampak niat pemerintah menyudahi keberpihakan kepada kapitalis oligarki. Tak kalah disesalkan, sikap itu juga ditunjukkan oleh orang nomor satu. Kepala negara seakan menyederhanakan masalah dan berkeluh kesah.

Melansir CNBCIndonesia (13/9), Presiden menganggap kekisruhan di Pulau Rempang sebenarnya hanya masalah komunikasi, bisa diselesaikan di tempat, tanpa harus menunggu presiden. “Masa urusan gitu sampe Presiden,” ungkapnya.

Sungguh sikap yang bertolak belakang dengan Khalifah Umar bin Khattab. Dikutip dari Republika.co, dalam sebuah kisah, Gubernur Mesir, Amru bin Ash bermaksud melebarkan bangunan masjid. Namun, lahan yang akan dijadikan sebagai bangunan masjid itu, terdapat lahan dan bangunan milik seorang Yahudi. Amru bin Ash berusaha membujuknya agar menjual tanah tersebut demi memudahkan pembangunan masjid. Namun, orang Yahudi itu bersikukuh menolak, sekalipun diganti dengan harga 15 kali lebih tinggi, hingga Amru bin Ash mengambil tindakan relokasi paksa.

Orang Yahudi yang bersedih itu kemudian mendatangi Khalifah Umar bin Khattab di Madinah dan mengadukan perbuatan Gubernur Mesir Amru bin Ash kepada Amirul Mukminin. Umar bin Khattab lalu memerintahkan si Yahudi mengambil sebuah tulang. Kemudian, Umar mengambil pedangnya dan membuat garis lurus di atas tulang tersebut. Setelah itu, Umar memerintahkan si Yahudi menyerahkan tulang itu kepada Amru bin Ash di Mesir.

Menerima tulang tersebut, Amru bin Ash bergetar ketakutan, lalu memerintahkan untuk menghentikan pembangunan masjid. Saat ditanya oleh si Yahudi yang heran melihat sikapnya, Amru bin Ash menerangkan makna di balik tulang dan garis lurus tersebut.

“Wahai kakek, tulang ini memang busuk. Tapi lihatlah intinya, bahwa sesungguhnya, setinggi apa pun kekuasaan seseorang, dan sehebat apa pun dirinya, suatu saat pasti akan mati dan menjadi tulang seperti ini. Selain itu, garis lurus yang dilukiskan oleh Khalifah Umar ini memiliki makna yang tegas. Intinya, sebagai seorang pemimpin, saya harus berlaku lurus dan adil serta tidak semena-mena pada kelompok lain. Jika saya melanggar dan tidak lurus, maka Umar yang akan meluruskannya dengan pedangnya,” jelas Amru bin Ash.

Pemimpin adil, melindungi dan melayani rakyat sebagaimana dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab inilah yang dirindukan umat. Bukan hanya warga Rempang, tapi seluruh umat di dunia. Pemimpin yang demikian hanya terwujud bila dalam dirinya tertanam ketakwaan dan rasa takut akan pertanggungjawabannya di hadapan Sang Pemilik langit dan bumi. Pemimpin yang demikian hanya terwujud bila sistem yang diterapkan adalah sistem Islam. Sebab, sistem sekuler hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin otoriter.

Artikulli paraprakHidup Bertetangga dalam Sistem Islam
Artikulli tjetërPolitik Tak Dapat Dipisahkan dari Agama
Visi : Menjadi media yang berperan utama dalam membangun kesadaran umat tentang fakta kebutuhan mengembalikan kehidupan Islam. Semua isi berupa teks, gambar, dan segala bentuk grafis di situs ini hanya sebagai informasi. Kami berupaya keras menampilkan isi seakurat mungkin, tetapi Linimasanews.com dan semua mitra penyedia isi, termasuk pengelola konsultasi tidak bertanggungjawab atas segala kesalahan dan keterlambatan memperbarui data atau informasi, atau segala kerugian yang timbul karena tindakan berkaitan penggunaan informasi yang disajikan. Linimasanews.com tidak bertanggungjawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis yang dihasilkan dan disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik “publik” seperti Opini, Suara Pembaca, Ipteng, Reportase dan lainnya. Namun demikian, Linimasanews.com berhak mengatur dan menyunting isi dari pembaca atau pengguna agar tidak merugikan orang lain, lembaga, ataupun badan tertentu serta menjauhi isi berbau pornografi atau menyinggung sentimen suku, agama dan ras. Segala isi baik berupa teks, gambar, suara dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Linimasanews.com. Semua hasil karya yang dimuat di Linimasa news.com baik berupa teks, gambar serta segala bentuk grafis adalah menjadi hak cipta Linimasanews.com Misi : * Menampilkan dan menyalurkan informasi terbaru, aktual dan faktual yang bersifat edukatif, Inspiratif, inovatif dan memotivasi. * Mewadahi bakat dan/atau minat sahabat lini masa untuk turut berkontribusi membangun kesadaran umat tentang fakta kebutuhannya mengembalikan kehidupan Islam melalui literasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini