Rempang: Rakyat Jelata VS Oligarki

0
403

Oleh: Ria Nurvika Ginting, M.H. (Dosen FH)

Linimasanews.com—Gegap gempita perayaan hari ulang tahun HUT RI ke-78, 17 Agustus 2023 baru berlalu. Bukan usia yang muda lagi jika kita andaikan pada manusia. Perayaan ini dipenuhi dengan pernak-pernik berwarna merah putih. Merah darahku, putih tulangku. Begitulah filosofi dari warna ini yang juga merupakan warna yang disematkan kepada bendera negeri ini. Hal ini menunjukkan betapa luar biasa perjuangan para pejuang terdahulu mempertahankan negeri ini dari penjajah.

Namun, disayangkan, 7 September 2023 lalu terjadi bentrok antara masyarkat dengan aparat demi mempertahankan lahan mereka. Penggusuran paksa atau relokasi paksa oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri di Pulau Rempang, Kawasan Batam, Propinsi Kepulauan Riau, yang konon menggusur 6840 warga ini sungguh zalim dan aniaya. Anak kandung digusur untuk kepentingan segelintir orang yang kita sebut pemilik kuasa (modal) atau oligarki.

Mengambil pernyataan Ustadz Abdul Somad (UAS) mengenai sejarah penduduk Rempang, sejak tahun 1720 warga Rempang adalah warga adat Melayu dan merupakan keturunan Prajurit Terbilang, penjaga laut Kerajaan Lingga dari serangan musuh yang masuk dari selat Malaka. UAS mengutip postingan tulisan dari Prof. Dr. Dato Abdul Malik, ahli sejarah dan Guru Besar UMRAH Malaysia, pemerhati sejarah Kepri UAS yang menyatakan, penduduk asli Rempang-Galang adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I (Sriwijaya Post).

Bahkan, pada Perang Riau I (1782-1784) mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah dan dalam Perang Riau II (1784-1787) mereka prajurit Sultan Mahmud Riayat Syah. Ketika Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Dalik-Lingga pada 1787, Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga. Pemimpinnya Engku Muda Muhammad dan panglima Raman yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud. Kala itu pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Anak-cucu merekalah sekarang yang mendiami Rempang-Galang secara turun-temurun (Sriwijaya Post).

Sejarah menunjukkan pasukan dari Rempang gagah berani menggetarkkan penjajah Belanda dan Inggris saat itu. Namun, saat ini keturunan mereka malah digusur dari tanah kelahiran mereka, tanah leluhur mereka yang sudah mereka tempati sebelum para investor datang.

Hal ini makin memperjelas posisi pemerintah terhadap rakyat dan oligarki. Pemerintah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan menyepelekan kasus ini. Pernyataan yang viral yang begitu banyak mendapatkan komentar antara lain, “Rempang ricuh masa urusan gitu aja sampai ke Presiden!”

Kasus Lahan yang Berulang
Kasus konflik lahan yang terjadi di Rempang bukanlah kasus pertama kali. Menurut Tanah.id, selama periode 1988- Juli 2023 ada 562 kasus konflik lahan yang tercatat di Indonesia. Konflik yang terjadi selama periode tersebut meibatkan lahan sengketa dengan luas total sekitar 5, 16 juta hektare dan tercatat sudah memakan korban jiwa sekitar 868,5 ribu orang.

Konflik lahan di Rempang menambah daftar kasus lahan di negeri ini. Kasus persengketaan lahan yang terjadi jika melibatkan rakyat dengan negara atau perusahaan, rakyat sering sekali di posisi yang lemah karena mereka berhadapan dengan pihak yang power dan modalnya jauh lebih kuat (oligarki). Sehingga, meskipun mereka sudah tinggal di sana turun-temurun atau sudah menjadi tanah ulayat (tanah adat), akan ada saja alasan untuk menggusur dan mengkriminalisasi mereka.

Dilansir media, kawasan ekosistem hilirisasi pulau Rempang merupakan proyek yang tertunda selama 18 tahun. Akhirnya, kawasan Pulau Rempang, Batam diresmikan sebagai kawasan industri. Dalam pengembangan tersebut dilakukan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), yakni anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata. Sebagai pengelola pengembangan Pulau Rempang sendiri telah mengantongi Surat Keputusan (SK) atas Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPJL-PSWA) serta SK Pelepasan Hutan Produksi yang dapat di konversi (HPK).

Hingga saat ini total investasi pengembangan Eco-City Area Batam Rempang mencapai Rp43 triliun. Airlangga ingin PT MEG mencapai target investasi awal sebesar Rp50 triliun sebagai pengembang. Kepentingan investasi inikah yang menjadi pertimbangan negara yang katanya akan memberikan manfaat lebih besar bagi rakyat?

Muncul pertanyaan, jika memang proyek pembangunan yang memicu konflik lahan bahkan memakan banyak korban adalah untuk kepentingan rakyat luas, faktanya manfaat proyek-proyek investasi dan pembangunan ini tidak dirasakan dan dinikmati oleh rakyat. Wajar jika saat ini dikatakan bahwa negara hanya sebagai pelayan koorporasi (oligarki) yang memiliki kekuasaan (power) dan modal besar.

Pemanfaatan Lahan dalam Islam
Islam paripurna yang tidak hanya mengatur masalah ibadah semata. Dalam hal pemanfaatan lahan pun, Islam telah mengatur dengan jelas dan tegas. Baginda Rasulullah saw. pun telah mencontohkan perihal pemanfaatan lahan ini.

Pemanfaatan lahan ini sejalan dengan status kepemilikan. Status kepemilikan lahan tersebut harus jelas. Lahan-lahan yang baru dibuka biasanya tanah yang tak bertuan. Tanah tak bertuan ini dapat dinyatakan statusnya kepemilikan umum sampai ada yang menghidupkannya. Maksudnya, tanah mati (al-mawat) yang dihidupkan seseorang maka akan menjadi miliknya dengan cara bagaimana? Dengan cara bercocok tanam, menanami pohon serta membangun bangunan diatasnya. Rasulullah saw. bersabda,

“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari)

Sedangkan, tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut maka negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam).

Kasus lahan Rempang jelas mereka sudah eksis di sana maka lahan tersebut jelas milik mereka. Jika demikian, maka pemerintah harus meminta izin kepada mereka terlebih dahulu untuk memanfaatkan lahan tersebut. Hal ini dicontohkan Baginda Rasulullah ketika beliau ingin mendirikan masjid yang lahannya milik Sahal dan Suhail bin ‘Amru. Keduanya anak yatim yang diasuh oleh Muadz bin Afra’ Sahl.

Dari riwayat ini jelas konversi lahan milik pribadi untuk fasilitas umum termasuk kediaman sang pemimpin agung tadi membutuhkan izin dari pemiliknya. Ini juga ditegaskan dalam hadits Nabi yang lain, “Tidaklah halal seseorang mengambil tongkat milik saudranya, kecuali atas kerelaannya.” (HR. Ibn Hibban)

Kasus lainnya, ketika ‘Amru bin al-‘Ash menjadi Wali Mesir hendak memperluas masjid namun terhalang rumah seorang Yahudi. Ia berencana menggusur rumah tersebut tetapi Yahudi tidak terima lalu mengadu pada Khalifah Umar bin Khatthab. Umar lalu memberikan peringatan kepada Amru bin al-Ash.

Hal ini menegaskan kembali bahwa hanya dengan keridaan si pemilik maka lahan tersebut dapat diambil alih. Kita bandingkan dengan kasus lahan Rempang yang mengadu ribuan rakyat tetapi tidak ditanggapi serius, bahkan diberi peringatan tanggal sekian lahan harus dikosongkan. Bahkan kepala negara merasa kasus ini tidak harus sampai ke dirinya.

Selain dari segi lahan, kita tahu bahwa investor yang akan berinvestasi di Rempang adalah investor asing. Dalam Islam, investor asing, baik langsung maupun tidak langsung khususnya negara-negara yang memiliki kepentingan politik, baik global maupun regional, jelas bisa membahayakan negara. Karena, investasi ini dapat menjadi sarana untuk malakukan intervensi dalam politik, ekonomi dan banyak aspek di dalam negeri. Hal yang sama juga terkait dengan kepemilikan asing atas tanah dan bangunan yang digunakan sebagai pabrik dan sebagainya.

Solusi lahan yang telah berulang-ulang terjadi merupakan masalah sistemis. Masalah sistemastis ini maka butuh solusi yang sistematis. Solusinya hanyalah dengan mengembalikan pengaturannya kepada Sang Pemiliki hakiki atas bumi beserta isinya ini, yakni Sang Khaliq Allah Swt.

Aturan-aturan sistematis yang telah dibuat oleh Sang Pembuat Hukum, Allah Swt. serta dicontohkan Baginda Rasulullah beserta khalifah-khalifah setelah Beliau hanya dapat diterapkan dalam sebuah sistem yang sesuai dengan fitrah manusia, yakni sistem Islam kafah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

Artikulli paraprakBBM Kembali Naik, Rakyat Kian Pelik
Artikulli tjetërPolitik Wajib Terikat Syariat Islam
Visi : Menjadi media yang berperan utama dalam membangun kesadaran umat tentang fakta kebutuhan mengembalikan kehidupan Islam. Semua isi berupa teks, gambar, dan segala bentuk grafis di situs ini hanya sebagai informasi. Kami berupaya keras menampilkan isi seakurat mungkin, tetapi Linimasanews.com dan semua mitra penyedia isi, termasuk pengelola konsultasi tidak bertanggungjawab atas segala kesalahan dan keterlambatan memperbarui data atau informasi, atau segala kerugian yang timbul karena tindakan berkaitan penggunaan informasi yang disajikan. Linimasanews.com tidak bertanggungjawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis yang dihasilkan dan disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik “publik” seperti Opini, Suara Pembaca, Ipteng, Reportase dan lainnya. Namun demikian, Linimasanews.com berhak mengatur dan menyunting isi dari pembaca atau pengguna agar tidak merugikan orang lain, lembaga, ataupun badan tertentu serta menjauhi isi berbau pornografi atau menyinggung sentimen suku, agama dan ras. Segala isi baik berupa teks, gambar, suara dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Linimasanews.com. Semua hasil karya yang dimuat di Linimasa news.com baik berupa teks, gambar serta segala bentuk grafis adalah menjadi hak cipta Linimasanews.com Misi : * Menampilkan dan menyalurkan informasi terbaru, aktual dan faktual yang bersifat edukatif, Inspiratif, inovatif dan memotivasi. * Mewadahi bakat dan/atau minat sahabat lini masa untuk turut berkontribusi membangun kesadaran umat tentang fakta kebutuhannya mengembalikan kehidupan Islam melalui literasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini