Oleh: Diana Wijayanti
Saat ini kita hidup di dunia yang tidak ideal. Kita diatur oleh sebuah aturan kehidupan yang tidak bersumber dari Al Khaliq. Kehidupan semakin sulit dan sempit, penuh keserakahan bagi yang kuat dan penderitaan bagi yang lemah. Tentu saja kondisi ini harus diubah.
Gelisah dan galau kita rasakan. Keresahan itu sebagaimana yang dirasakan Rasulullah SAW melihat kondisi masyarakat jahiliyah Makkah sebelum hadirnya Islam, agama yang memberi rahmat. Maka, saatnya manusia disadarkan atas kesalahannya dan segera kembali kepada Islam.
Hal ini telah diperingatkan oleh Allah SWT dalam fiman-Nya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar Ruum: 41)
Di sinilah urgensinya dakwah. Dakwah merupakan upaya memberikan pemahaman agar manusia mendapat petunjuk. Hingga akhirnya, dunia berubah sebagaimana yang diharapkan dan diridhai Allah SWT.
Dakwah hanya bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu bicara atau menggerakkan pena. Kita bisa berkontribusi pada keduanya. Tidak perlu berkecil hati jika diri kita gemetar menghadapi manusia dengan bertatap muka. Karena, masih ada jalan dengan menuliskan seruan dalam goresan pena.
Nasihat dari Sayyid Quthb menjadi pelecut diri agar terus berkontribusi dalam menulis hingga mencapai perubahan yang hakiki. “Peluru hanya dapat menembus satu kepala, tapi satu tulisan dapat menembus ratusan hingga ribuan kepala.” (Sayyid Quthb)
Terlebih di saat pandemi, manusia harus “wuquf” atau berdiam diri di rumah akibat virus Covid-19 yang tidak kunjung berhenti menginfeksi. Sistem aturan buatan manusia tak kuasa menghadapi karena gagal paham mengenai prioritas pilihan dalam menghentikan wabah. Manusia dikorbankan demi meraih sejumlah materi, yang menjadi prioritas adalah ekonomi.
Maka dakwah “offline” otomatis terhenti. Kita terpaksa melakukan dakwah “online” berbasis digitalisasi. Konten dengan audio visual hingga tulisan menjadi sarana untuk terus mengguncang dunia.
Di sinilah titik ketika kita harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi saat berdakwah. Akhirnya, mau tidak mau kita dipaksa belajar menulis. Paksaan menuju surga-Nya, insyaAllah.
Memang, menulis awalnya sulit. Itu saya rasakan karena saya belum paham cara merangkai kata, menjadikannya kalimat yang mampu menggugah akal dan perasaan hingga akhirnya bisa menemukan retorika mengguncang dunia dengan pena. Kesulitan itulah yang mendorong saya untuk belajar dan belajar di dunia kepenulisan.
Alhamdulillah, grup menulis bertebaran di Facebook hingga saya bisa bergabung dalam Komunitas Aktif Menulis (KAM) di tele yang dibimbing oleh Bu Afi dan yang lain. Materi dan diskusi tentang kepenulisan gratis membuat semangat mengikuti acara demi acara.
Hingga kemudian, saya ikut pelatihan menulis opini berbayar yang daging materinya. Dipandu oleh Cik Gu Nelly dan Cik Gu Fang. Alhamdulillah, ilmu demi ilmu didapati dan berproses untuk membuat karya.
Memang bukan tulisan opini awalnya, cuma membuat status di Facebook saja dengan menceritakan anak-anak dan pembelajaran dari peristiwa yang terjadi. Namun, setelah belajar, saya jadi berani menulis opini dengan bimbingan para mentor yang tidak kenal lelah memberikan masukan dan pengarahan.
Alhamdulillah, saya pernah juga ikut challenge membuat tulisan opini singkat dan berhasil mendapat hadiah dari challenge tersebut. Saat itu saya berhasil membuat opini singkat yang dimuat media terbanyak selama sepekan. Momen itu sangatlah membahagiakan dan terbukti slogan yang menyatakan “man jada wajada”, artinya siapa yang bersungguh-sungguh pasti bisa mewujudkan impian.
Selanjutnya, saya bisa berkomitmen menjadi kontributor opini di media Islam ideologis hingga saat ini dan ikut menulis bersama dalam empat buku antologi. Memang belum banyak menghasilkan karya, namun menjadi pejuang pena sangatlah menggembirakan.
Pasalnya, kita dapat menebar kebaikan dalam hidup dengan melakukan aktivitas yang mulia, yaitu melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (TQS Ali Imran: 110)
Mengukir bekas-bekas amal sholih guna mengharap ridha Allah SWT lewat untaian aksara dalam tarian pena membuat angkara murka sirna. Hingga peradaban cemerlang dunia bisa terwujud menjadi misi besar seorang hamba.
Adapun dalam menulis, patut menjadi perhatian kita adalah retorika. Tentu retorika yang mampu mengguncang dunia adalah dambaan setiap insan pecinta dakwah. Mengingat dakwah yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah dakwah yang luar biasa.
Bukan hanya dimensi dunia, namun juga akhiratnya. Dari sini, sangat menarik apa yang disampaikan Ustaz Dwi Condro Triono, Ph.D. dalam membuat retorika mengguncang dunia, dan bisa diwujudkan dengan ukiran pena.
Retorika adalah seni peran yang terdapat pada diri seseorang seperti peran galak, lucu, sedih, senang, tegas, berwibawa dan bijaksana. Siapa yang mampu melakukan, berarti bisa beretorika. Namun, retorika saja tidaklah cukup tanpa memperhatikan ide yang disampaikan. Karena, yang paling pokok adalah ide yang dilontarkan dan diiringi retorika yang tepat. Itulah yang akan mengguncang dunia.
Contoh ide yang mampu mengguncang dunia adalah ketika kita membahas demokrasi (sistem pemerintahan) sebagai sistem kufur. Kita bisa bayangkan kemarahan umat jika sistem pemerintahan yang dianggap paling ideal ini diusir, disalahkan dan wajib ditinggalkan.
Sehingga, pembahasan demokrasi itu sistem kufur, pasti akan menggoncang dunia karena menyangkut pemutusan hubungan masyarakat dengan penguasa dalam satu aturan yang ternyata bertentangan dengan aqidah umat Islam. Demokrasi yang dijadikan “rule model” sistem pemerintahan terbaik dunia, ternyata menyalahi aqidah umat Islam, yaitu syahadat.
Demokrasi itu menjadikan kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan Allah SWT. Sementara, seorang muslim wajib menjadikan kedaulatan ada di tangan Allah SWT. Di sinilah dipastikan akan muncul kegoncangan di tengah masyarakat.
Gejolak di masyarakat merupakan tanda ada kehidupan, sehingga para penyeru kebenaran bisa menunjukkan jalan yang lurus, yaitu jalan Islam. Endingnya, umat sadar akan kerusakan yang ada dan terdorong melakukan perubahan menuju Islam.
Ada beberapa jurus yang diajarkan oleh Ustaz Condro dalam menggoncang dunia di antaranya:
Jurus 1, membangkitkan pemahaman, yaitu membenturkan pengamalan syariah secara kaffah, dikunci dengan aqidah. Maksudnya, kita harus menggelitik kesadaran umat bahwa ada masalah di sekitarnya. Jika tidak, umat tidak akan bisa bergerak menuju perubahan.
Umat akan “ayem tentrem” jika yang dibahas adalah hubungan dirinya terhadap Allah SWT, maupun hubungan yang menyangkut dirinya, yaitu membahas aqidah dan akhlak. Jika kita akan mengguncang kesadaran umat, maka perlu dibahas tentang hubungan antarmanusia yang meliputi sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pergaulan atau sosial, peradilan, pertahanan dan keamanan negara.
Bagaimana caranya? Umat harus dipahamkan mulai masalah ibadah sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Baqarah: 183 tentang kewajiban berpuasa. Jika dikupas sedalam-dalamnya, dan didramatisir. Kata “Kutiba ‘ala…” berarti wajib. Sementara, definisi wajib adalah harus dilakukan jika tidak maka berdosa. Maka umat harus diajak berpikir tentang seruan Allah SWT dalam redaksi yang hampir sama, yaitu dengan QS Al Baqarah 178, yang membahas tentang kewajiban qishas.
Qishas adalah salah satu hukum dalam sistem peradilan dalam Islam. Ketika saat ini hukum qishas tidak bisa dilakukan, maka akan menjadi dosa atas seluruh kaum Muslim. Di sinilah kegoncangan kesadaran dan pemahaman umat terjadi.
Saat umat bergoncang pemikirannya, maka harus ditutup dengan QS Al Baqarah: 185, bahwa pelaksanaan syariah setengah-setengah akan membawa pada kesengsaraan. Umat Islam akhirnya mengindera kesengsaraan yang terjadi saat ini karena setengah-setengah menjalankan syariat. Maka, sengsara di dunia akan berlanjut jika tidak berubah dan yang lebih parah lagi di akhirat akan mendatangkan adzab yang pedih.
Ini sedikit contoh penerapan jurus ke-1 dalam retorika mengguncang dunia.
Jurus ke-2, menggoyang pemahaman, menghantam ikatan masyarakat dan menyusun ancaman. Jurus ke-3, memudahkan pemahaman membuat analogi kemudahan pemahaman. Jurus ke-4, mempertajam pemahaman, membuat negasi ketajaman pemahaman.
Jurus ke-5, melambungkan pemahaman, membuat negasi, membuat peringkat pemahaman melambung. Jurus ke-6 membelokkan pemahaman. Jurus ke-7, membalikkan pemahaman, ketakutan hukum Islam menjadi keindahan hukum Islam.
Jurus-8, mengunci pemahaman, mengumpulkan berbagai pemahaman lain, dikunci satu persatu dengan pemahaman Islam. Jurus-9, mengunci dan membanting pemahaman. Pemahaman lain dikunci dan pemahaman yang salah dibanding dengan pemahaman Islam.
Rincian jurus-jurusnya bisa dibaca sendiri dalam buku beliau yang menjadi best seller. Saya hanya ungkap jurus kesatu saja agar menambah penasaran. Semoga retorika ini bisa diterapkan, baik secara lisan maupun tulisan.
Alhasil, saatnya kita bersiap memakai retorika mengguncang dunia dengan pena agar umat bisa kembali bangkit. Lalu, berjuang bersama demi tegaknya hukum-hukum Allah SWT secara kaffah di muka bumi ini.