Oleh: Ummu Irul
Setiap embusan napas kita, setiap helaan napas kita, benar-benar tak terbeli oleh siapa pun. Meski seseorang memiliki harta segunung. Meski ia punya jabatan yang agung. Tersebab saking mahalnya momentum itu, juga terlalu berharganya saat tersebut.
Ketika kita sedang sehat, berapa sebenarnya harta yang kita punya? Ketika kita bisa tersenyum, berapa banyak manusia teringankan bebannya? MasyaAllah. Sungguh, di kala sehat dan diberi kesempatan hidup, itulah nikmat yang luar biasa. Bersyukur atas nikmat-Nya.
Oleh sebab itu, janganlah kita terlena, karena waktu demikian cepat berlalu! Tak terasa, kita sudah berada di usia terus beranjak. Kepala tiga, empat, lima, dan mungkin enam, bahkan kepala tujuh! Subhanallah.
Perasaan, baru saja kita mendapatkan predikat ibu kala anak pertama kita lahir ke dunia. Kini anak kita yang sulung mungkin sudah dewasa, sudah ada yang berkeluarga kemudian berputra, ada juga yang sudah kuliah, SMA, dan seterusnya. Semuanya berlalu sedemikian cepat, sekelebat kilat menyambar.
Sekali lagi, nikmat kesempatan hidup ini harus senantiasa kita syukuri, sesulit apa pun rintangannya. Karena, hidup adalah anugerah. Kesempatan hidup hingga sekarang adalah kesempatan untuk kita berbenah, dari perbuatan yang kurang maksimal di masa lampau. Karena, penyesalan datangnya selalu belakangan.
Itu pula yang kini selalu menjadi motivasiku untuk senantiasa berbuat baik, melaksanakan kewajiban-kewajiban baik terkait dengan diri sendiri maupun dengan orang lain jika masih ada waktu. Sebab bagiku, kesempatan hari ini seperti “terlahir kembali” setelah mengalami masa yang sungguh tak terlupakan.
Ketika itu, aku masih berusia sekitar 39 tahun. Sedang putra terkecilku berusia 2,5 tahunan. Atas kehendak Allah, aku hamil yang kelima, hidup. Maksudnya anakku yang hidup kala itu sudah empat. Jadi ini kehamilan yang kelima.
Atas kuasa Allah pula, titipan itu diambil kembali oleh-Nya, setelah berumur 8 mingguan di rahimku.
Sebenarnya, hal itu bukan sesuatu yang baru bagiku, karena kebetulan Allah sering mengujiku dengan keguguran, bayi lahir dan meninggal sebelum waktunya. Aku sudah mengalami empat kali keguguran, dan yang ini adalah yang kelima. Innalillahi.
Pada keguguran yang kelima inilah, momentum yang tak bisa kulupakan. Why? Karena, ini keguguran yang terhebat, dibanding yang sebelum-sebelumnya. Hebat apanya?
Pertama, hebat sakitnya, dan hebat keluar darahnya. Itulah, yang sering saya ingatkan pada diri sendiri, bahwa manusia itu tidak tahu apa-apa dan sungguh tidak berdaya. Bayangkan! Untuk melihat diri sendiri beberapa menit berikutnya saja tak mampu. Apa yang akan dialami beberapa waktu ke depan saja tidak mampu. Terlalu lemah manusia itu, lalu apa yang disombongkan?
Seperti halnya diriku di kala itu. Siangnya, masih bisa halaqoh bareng teman-teman, tak ada tanda-tanda apap un, sore masih bisa meriayah si kecil yang baru berumur dua tahunan. Memandikan, mengajak bermain, menyiapkan makanan, termasuk keluarga, juga beberes, dan sebagainya. Eh, malam-malam, sekitar jam sebelas malam, tetiba perut rasanya kontraksi. Dari menit ke menit terus bertambah sakit itu. Sampai beberapa menit, aku masih bisa bertahan, tanpa membangunkan siapa-siapa, termasuk suami. Kasihan beliau baru saja terlelap, setelah seharian “macak pahlawan keluarga.”
Rasa sakit itu kian mendera. Semakin lama semakin kencang rasanya. Lalu saya pergi kamar mandi, sengaja yang tidak ada klosetnya. Ya, biasa rasanya seperti itu, mungkin yang sudah melahirkan pahamlah bagaimana rasanya. Kayak orang yang mau “berhakat,” maka aku pun ke sana, jeding tanpa kloset. Setelah aku duduk, apa yang terjadi?
Keluar darah banyak sekali, dan rasanya plong! Sudah tidak sakit lagi. Alhamdulillah. Tapi, apakah selesai sampai di situ?
Ternyata belum, Sahabat! Setelah rasa plong itu (keluar darah banyak itu) aku tidak bertenaga untuk sekadar membawa tubuhku ke kamar tidur, padahal hanya berjarak 7 meter kurang lebihnya.
Sebab itulah, aku mencoba membangunkan penghuni rumah, dengan sedikit berteriak, karena sudah tidak mampu berjalan. Sesampainya di depan kamar, aku duduk bersandar di kursi, untuk sedikit mengatur napas, karena jantungku berdegup sangat kencang dan sepertinya mau pingsan. Pandanganku sudah mulai kabur, dan lemas sekali.
Maka, segera aku menyuruh mbake (panggilan kami kepada karyawati kami, yang menginap di rumah) untuk segera mencet ujung jari kelingking pojok kuku luar, agar segera sadar, tidak jadi pingsan (pernah belajar sedikit akupuntur waktu itu). Dan alhamdulillah, biidznillah, cara itu berhasil, aku tak jadi pingsan.
Setelah mendengar huru hara itu, maka suamiku terbangun (sengaja belum aku bangunkan secara langsung) tergopoh-gopoh menghampiriku, dan menanyakan. ” Piye-piye,” Begitu celethukannya, antara sadar dan tidak, karena baru bangun dari tidur.
Akhirnya, dibawalah aku ke klinik dekat rumah, yang menjadi langganan kami dari beberapa kelahiran anak kami. Kami merasa cocok dengan pelayanan di sana. Di samping dekat, ramah, cepat tanggap dan juga solutif atas masalah kami, khususnya aku yang sering bermasalah terkait kehamilan.
Begitu sampai di klinik, segera dilakukan cek pada kehamilanku, dan segera diketahui bahwa janin telah gugur, tidak bisa ditolong lagi. Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun (Sesungguhnya kami dari Allah dan akan kembali ke Allah SWT. Berarti ini keguguranku yang kelima.
Saat dibersihkan sisa kelahiranku oleh ahlinya, aku sedikit lega karena sudah ditangani oleh yang berkompeten. Aku pun tenang, sambil terus kulantunkan ayat-ayat-Nya (pas waktu itu aku dalam masa menghafal juz 30), sambil mata kupejamkan. Ternyata, aku dipanggil-panggil terus oleh perawat yang membantu dokter menanganiku. “Mbak, Mbak, bangun dong mbak jangan merem terus,” begitu sedikit teriakannya. Dan aku pun menjawab, “Lebih enak merem, Mbak, sudahlah tenang saja, aku sadar kok.” Begitu jawabku pada mbak perawat.
Setelah beberapa menit, dilakukan pembersihan maka tibalah saat yang, mendebarkan itu. Hal itu disebabkan karena, meski telah dibersihkan, tapi darah terus mengalir, sehingga berpengaruh pada turunnya HB (Hemoglobin). Kala itu dokter bilang HB-ku tinggal 4! Pantesan radanya enakan tidur saja (merem) dan bahkan sempat bergetar hebat kakiku. Bergetar tak mampu aku hentikan. Kemudian, saat kulirik telapak tanganku, pucat sekali, seperti mayat. Ya Robb, apakah ini tiba saatnya aku menghadap-Mu? Aku sudah pasrah, aku teruskan lantunan ayat-ayat cinta-Nya, meski hanya “umak umik” tanpa suara.
Benar-benar aku pasrahkan kepada-Nya hidup dan matiku dan seluruh urusanku. Amanah-amanah yang ada padaku, aku serahkan semuanya pada Allah. “Aku pasrahkan kepada-Mu ya Allah segala urusanku. Matikanlah aku dalam keadaan husnul khotimah,” begitu doaku. Kemudian aku lanjutkan lagi, hafalanku. Kala itu, aku hafal bunyi dan urutannya sekaligus, jadi enak, seperti membaca Al-Qur’an yang di mush’afnya.
Di tengah-tengah ketegangan itu, samar-samar aku dengarkan percakapan antara perawat dengan suamiku. “Pak, karena HB Mbak Utami ini rendah sekali, kami membutuhkan darah dua kantong pak, mohon dicarikan di PMI ya, Pak, kebetulan stok kami habis,” Begitu pintanya pada suamiku.
Dengan segera suamiku pamit ke aku, “Sik ya tak golek darah, mugo-mugo ndang entuk.” (Sebentar aku cari darah ya, semoga segera dapat).
“Nggih, Bi, Aamiin,” jawabku lirih, sambil terus merem.
Sambil menunggu datangnya suamiku yang membawa darah, aku terus dirawat sembari disuntik ini itu, agar imun bertambah dan blooding segera berhenti. Sementara aku terus melantunkan ayat-ayat cinta-Nya yang sudah kupindahkan dari tulisan ke dadaku. MasyaAllah, tenang rasanya, meski darah terus mengalir.
Alhamdulillah, menjelang subuh suamiku datang tergopoh-gopoh sambil menenteng kresek yang berisi dua ampul darah. Waktu itu aku sudah bisa melek, meski masih lemah.
Segera kantong kresek yang berisi darah, diserahkan kepada pihak klinik. Kemudian dengan sigap, sang perawat memasang kantong isi darah di tempat infus yang telah beberapa jam tersambung di lenganku.
Sambil sibuk tangannya memasang infus (transfusi darah), mbak perawat mengingatkanku, “Ma’af Buk, nanti mungkin akan terasa agak gatal nggih, itu wajar, jadi tenang saja .Tapi jika terasa sesak, tolong segera ngendikan.”
Benar yang perawat sampaikan tadi. Setelah beberapa menit aku ditransfusi darah, gatal-gatal “clekit-clekit.” Mulai kurasakan di seluruh tubuhku. Terus kulantunkan do’a untuk kesembuhanku, mengingat akan ada acara tokoh waktu itu.
Harusnya, kala itu, saatnya untuk mengontak/sowan kepada tokoh-tokoh masyarakat agar mau hadir pada acara tersebut. Di sinilah semakin kusadari, betapa lemahnya manusia, hanya bisa berupaya dan berdo’a. Keputusan tetap dalam kuasa yang Maha Kuasa.
Alhamdulillah ‘ala kulli hal, setelah berlangsung beberapa jam, akhirnya transfusi itu selesai, dua kantung darah, telah masuk ke tubuhku. Semoga semuanya menambah keberkahan tubuh dan pemikiranku. (Mengingat, darah orang lain yang aku tidak kenal sama sekali telah masuk ke jasadku) Aamiin ….
Setelah beberapa hari aku dirawat dan dirasa telah sehat, atas izin Allah aku dibolehkan pulang oleh bidan yang merawatku. Puji syukur hanya layak untuk-Mu Ya Allah.
Sungguh, aku bersyukur, saat masih diberi kesempatan sehat kembali. Nikmat yang luar biasa ketika masih diberi waktu/umur oleh Allah SWT sehingga bisa beraktivitas kembali seperti sediakala. Sesempit apa pun kesempatan yang diberi oleh Allah, tak bisa dibeli dengan segudang emas yang mungkin kita miliki.
Oleh karena itu, mumpung nyawa masih dikandung badan, berjuanglah! Agar peradaban Islam yang gemilang segera terwujud kembali dengan bergabung bersama teman-teman yang merindukan surga.
Allahu Akbar!